Selasa, 18 Oktober 2016
KEPADA MATAHARI
Kepada matahari, yang enggan tenggelam dan ingin meneruskan perjalanan. Tetap saja begitu, biarkan rambut cahaya menahan pintu malam. Tahan saja dulu kepergianmu, sebab aku masih ingin menatap seseorang yang menghadiahkanku degap. Dari cahayamu, aku menelusuri kelopak mata seorang wanita, menemukan ikanikan cinta yang terpendam di antara selaput kornea. Matanya yang gelap, berujung cahaya pada sebuah kota, tempat kita merangkum kata dan jumpa.
Kepada matahari, aku ingin kau panjangkan hari, menunda esok menjemput pagi. Biarkanlah dulu aku merapikan coretan langit yang kulukis berdua. Sebab tak ada yang bisa mengerti sejauh mana kerelaan mengiringi keikhlasan. Dan aku, terpaksa diam melihat langit sakit.
Ketika sekian lama kita berdua melukis awan juga sekelompok burung beterbangan. Tetiba saja, esok hanya ada langit kosong. Mungkin kita hanya bisa terbengong menanyakan perginya awan. Tanpa pernah tahu ke mana pergi perjalanan kita ciptakan, kerelaan hanyalah pintu tersisa menuju pulang.
Kepada matahari, kepada kita yang ingin lari setelah terjebak pada kekacauan nada nadi darah menepi. Ketakutan kita seperti matahari mencium selembar daun, mau tak mau kelak lahirkan bungabunga. Begitupun cinta terlahirkan, terpaksa menjelma ketika kata dan kita saling berbagi ruang. Bersiap merasakan tenggelam dan menyelam, sampan dan layar kita bentangkan, angin berarah ke luas lautan, lalu kemarin adalah rahasia yang siap dipecahkan ketika pagi kembali.
Pada sebuah perjalanan, kita memang menatap ke depan, dengan sesekali menengok ke belakang. Begitulah cinta. Mungkin kita bisa ikhlas, tapi hati tetap saja sulit melepas. Maka biarkanlah cinta berjalan sampai hari mengetuk pagi, dan kita mencaricari alasan untuk mengerti, kenapa hari kemarin kita harus ikhlas menjadikannya lepas tak berbekas.
Kadangkala kita enggan memasuki malam. Sebab malam adalah waktunya merindu. Mau tidak mau, kau dan aku, terjebak pada sebuah cinta yang lahir dari pertemuan tak sengaja. Layarlayar berbatas dinding kamar tetiba saja menjadi bingar. Pertemuan siang tadi, kini tersaji dalam bingkai langit kamar.
Kau mungkin tidak percaya, sebab matahari tidak pergi, dia hanya bersembunyi pada ruas jemariku yang sempit ini. Melihat diriku yang merengek tak ingin matahari pergi, dia menjelma semburat, menyisakan ekor dan rambut cahaya. Ketika gelap mendekap, cahaya itu terbang membingkai dinding kamar, melukiskan kita yang siang tadi melamun, lalu tertegun, dan terpenjara senyum masingmasing.
Di luar sana, malam tetaplah datang, sebab rindu bukan milik kita berdua. Ada sepasang hati lain yang menunggununggu malam tiba. Dengan bulan yang sedang cantikcantiknya, dengan bintang yang sedang kedipkedipnya, di antara dua hati juga ada yang sedang menggebugebu menyambut rindu.
Kepada matahari, aku ingin merasakan pergi dan kembali dalam satu nadi, seperti ombak lautan, riak dan gemuruh terangkum utuh bersama kaki yang merencanakan ke mana hati baiknya melaut.
Dan dengan malam, aku merasakan rindu seperti pasir menunggu buih. Tak perlu mata juga kata, kita hangat disengat cinta, yang percaya pergi pasti kembali.
Dan dengan siang, aku merindukanmu seperti peluh jatuh ke tempat bersimpuh. Tak perlu mati untuk sekadar berarti, sebab cinta, lahir dari kerelaan berjuang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar