I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemanfaatan sumberdaya laut tidak hanya dilakukan melalui penangkapan,
tetapi juga perlu dikembangkan usaha budidaya.Saat ini pengembangan budidaya
laut lebih banyak mengarah kepada ikan-ikan ekonomis tinggi dan tiram mutiara,
sementara diperairan Indonesia masih banyak biota-biota laut yang masih dapat dikembangkan dan mempunyai nilai ekonomis tinggi, salah
satunya adalah kerang abalon.
Abalon (berasal dari bahasa Spanyol, Abulón)
ialah suatu spesies kerang-kerangan (moluska) dari familia Haliotidae
dan genus Haliotis.
Ia dikenal pula sebagai kerang mata tujuh atau siput balik batu, ormer
di Jersey dan Guernsey, perlemoen di Afrika Selatan, dan pāua
di Selandia Baru.
Abalon merupakan salah satu jenis kerang yang telah
menjadi komoditi perikanan dunia yang saat ini sedang mengalami peningkatan
permintaan terutama dari pasar intenasional.
Jepang, Cina, dan Hongkong merupakan negara konsumen abalon terbesar
(Grubert, 2005). Tingginya permintaan dan harga abalon di pasaran membuat para
nelayan melakukan penangkapan dari alam secara besar-besaran dan terus menerus, sehingga menyebabkan populasi abalon di alam menjadi
terancam.Hal ini telah dialami oleh hampir semua negara dimana terdapat abalon
(ACIAR, 2009).Di Negara-negara seperti Jepang, New Zea Land, Australia, Amerika
Serikat, Mexiko, dan Afrika Selatan, teknologi budidaya abalon telah berhasil
dikembangkan (Grubert, 2005). Pada tahun 2002, produk
abalon hasil budidaya mencapai 4.076 ton dari total produksi perikanan laut
dunia 8.000 ton. Sementara di Indonesia data produksi abalon hasil budidaya
belum tersedia (Hamzah, 2012).
Menurut Sofyan, dkk (2005) daging abalon (Haliotis
asinina) mempunyai gizi yang cukup tinggi dengan kandungan protein 71,99%;
lemak 3,2%; serat 5,60%; abu 11,11% dan kadar air 0,60% serta cangkangnya
mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan
kancing baju dan berbagai bentuk barang kerajinan lainnya. Selain nilai gizi
yang tinggi, pengaruh prestise bagi yang mengkonsumsinya menyebabkan abalon
memiliki nilai ekonomis tinggi.Daging abalon merupakan sumber makanan
berprotein tinggi, rendah lemak, makanan tambahan (food suplement) dan
di Jepang dianggap mampu menyembuhkan penyakit ginjal.Cangkang dari abalon juga
memiliki nilai ekonomis yang tidak kalah tinggi dibandingkan dagingnya
(Suwignyo, 2005).
Budidaya abalon di Indonesia mulai diteliti di Loka
Budidaya Laut Lombok sejak tahun 1997 (Litaay dkk. 2012). Sementara UPT.
Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram, Puslit. Oseanografi LIPI mulai
mencoba melakukan penelitian pada tahun 2008 yang terfokus pada pemijahan induk
dan pembesaran larva abalon tropis (H. asinina) di laboratorium.
Saat ini budidaya abalon, khususnya H. asinina dan H. squamata, telah dikembangkandi Indonesia (ACIAR,
2009).Ketersediaan pasokan benih yang dapat diandalkan, baik dari segi kualitas
maupun kuantitasnya, merupakan suatu pertimbangan yang penting pada usaha budi
daya abalon secara komersial.Namun demikian, produksi benih saat ini tidak
terlalu besar untuk dapat memenuhi permintaan dari para pembudidaya abalon.
Secara biologis abalon jenis H.
asininamempunyai pertumbuhan yang lambat yaitu 20-30 mm per tahun (Pillay,
1993) sedangkan secara ekonomis, usaha perdagangan abalon terus meningkat
sehingga diperlukan perhatian terhadap keseimbangan antara laju populasi dan
laju eksploitasinya demi tetap berlanjutnya usaha pemanfaatan abalon. Oleh karena itu, untuk menjamin ketersediaan
stok abalon diperlukan adanya suatu usaha pengembangan teknik budidaya.
B.
Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui
sistem budidaya dan produksi benih abalon sebagai salah satu langkah mengatasi
eksploitasi abalon di alam, mengetahui metode perbaikan pembenihan serta lokasi
yang layak untuk kegiatan budidaya dan produksi benih abalon H.asinina.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Klasifikasi
Menurut
Barnes (1974) dalam Buen-Ursua (2007), klasifikasi dari abalon adalah
sebagai berikut:
Phylum
: Mollusca
Class
: Gastropoda
Sub class :
Orthogastropoda
Ordo :
Vetigastropoda
Super Family :
Pleurotomarioidea
Family :
Haliotidae
Genus :Haliotis
Spesies
:Haliotis sp.
B.
Morfologi dan Anatomi
Abalon mempunyai bentuk yang hampir
menggulung, gulungannya meluas dengan sangat cepat sehingga cangkangnya lebih
kelihatan seperti mangkuk atau mirip telinga.
Cangkang abalon dapat diidentifikasi lebih lanjut melalui urutan lubang
kecil mengikuti tepi bagian sisi kiri cangkang. Cangkang berwarna khas hijau
lurik dan merah hingga kekuningan, warna yang bagus untuk melindungi diri bagi
binatang yang hidup dibatu (Shiemack, 2001).
Abalon mempunyai bentuk cangkang memanjang yang tipis, rata dan tidak
simetris. Ukuran tubuhnya (otot) sangat besar dibandingkan cangkangnya. Kepala berwarna kehijauan dan pada pinggir
sekitar kepala berwarna hijau dengan bintik-bintik hijau gelap dan coklat. Kakinya berwarna krem kelihatan berbintik
kecoklatan (Effendy, dkk.,
1998).
Cangkangnya berbentuk seperti telinga dan berwarna kemerah-merahan sampai
coklat dengan gelombang cincin yang tumbuh pada permukaannya. Terdapat strip
hitam dan kekuningan pada dorsal dan warna kehijauan sampai keunguan pada strip
atau jalannya (Bose, at al., 1993).
Hegner andEngeman (1968) menyatakan
bahwa abalon adalah gastropoda laut yang memiliki spiral datar, bukan
cangkangnya sangat besar bila dibandingkan dengan ukuran cangkangnya. Ciri khas
abalon adalah lubang-lubang yang berjejer secara spiral disepanjang cangkang
sisi kiri bagian dorsal. Abalon memiliki
dua insang, sebuah kaki yang sangat besar, epipodial disis cangkang dengan
tentakel epipodial keluar darilubanglubang yang terdapat pada cangkang.Adapun penampakan morfologi dari Haliotis asinina dapat dilihat pada Gambar 1.
H. asinina
memiliki ciri khas yaitu lubang di sepanjang cangkangnya dengan enam atau tujuh
buah di antaranya terbuka, dan kaki yang lebih besar dari bukaan cangkangnya
sehingga abalon dapat menyembunyikan tubuhnya dengan sempurna di dalam
cangkang.Abalon memiliki epipodial seperti renda di sekeliling
tubuhnya.Epipodial ini diselingi oleh tentakel-tentakel epipodial yang
berfungsi sebagai alat peraba (Tissot, 1992).
Menurut Bose at al. (1993) H. asinina memiliki cangkang yang berbentuk memanjang, berwarna
hijau coklat, spiral, tipis dengan enam sampai tujuh tremata dan mencapai
ukuran maksimum yaitu 100 mm.Warna kaki abu-abu, mencapai berat total yaitu
250-280 g.Cangkang abalon jenis H.
asinina, berbentuk seperti telinga dan berwarna mulai dari kemerah-merahan
sampai coklat dengan gelombang cincin yang tumbuh pada permukaannya. Terdapat strip hitam dan kekuningan pada
dorsal dan berwarna kehijauan sampai keunguan pada strip otot jalannya.
Adapun
penampakan anatomi dari abalon menurut Cox (1962) dalam Effendy(1997) dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Penampakan anatomi
abalon
Keterangan Gambar :
1.
Chepalic tentakel 6.Epipodium
2.
Mata 7. Kaki
3.
Tangkai mata 8.
Lapisan otot
4.
Insang 9.
Tentakel
5.
Mantel 10.
Gonad
Jarayabhand dan
Paphavasit, (1996) dalam Effendy
(1997) menjelaskan bahwa H. asinina memiliki
cangkang yang berbentuk memanjang, berwarna hijau coklat, spiral, tipis dengan
6 – 7 tremata dan mencapai ukuran maksimum yaitu 100 mm, warna kaki abu-abu,
mencapai berat total yaitu 250-280 gram.
Mgaya (1995) dalam Effendy (1997) mendeskripsikan
famili dari Haliotodae sebagai berikut nacreous cangkangnya berada disebelah
dalam, dan berwarna pada sebelah luarnya, berbentuk seperti telinga dengan
pertumbuhan lingkaran yang sedikit cepat, dimana pada bagian bawahnya terbuka,
sehingga seluruh sisi sebelah bawah cenderung kedalam. Hewan ini memiliki kaki yang lebar berbentuk oval, tanpa operculum, baik diatas
dan dibawah mantel, perkembangan epipodium saat ini sangatlah cepat, dimana
anteror akhir sampai ke kepala tentakel, diatas dan disamping kepala tentakel
terjadi proses pembukaan mata, yang bergabung dengan sisi cuping yang
terbungkus oleh integumental.
C.
Sistem
Organ dan Syaraf
Kerang abalon
adalah kerang siput yang unik, memiliki cangkang tunggal dan datar dengan ukuran
yang menutupi tubuhnya dan terdapat satu baris lubang sepanjang salah satu sisi
cangkang (sisi kiri).Lubang-lubang tersebut terus ada sepanjang hidup abalon.Ketika
mereka tumbuh, lubang baru yang telah terbuat muncul dan mengisi lubang yang
lama.Lubang ini digunakan dalam respirasi, sanitasi dan reproduksi dari abalon.Bagian
spiral khas cangkang bekicot yang sangat datar pada abalon disebut puncak.
Bahkan mungkin sulit untuk melihat spiral ini pada hewan yang lebih tua yang
mungkin memiliki organisme lain yang tumbuh di cangkang atau memiliki banyak
abrasi pada bagian tubuh tersebut.
a)
Cangkang
DalamAbalon
Cangkang abalon,
pada bagian dalamnya terlihat lubang-lubang yang terbuka, otot parut (tengah), dan puncak
(kanan dan bawah cangkang).
Gambar 3.
Organ Bagian Dalam Abalon
|
Abalon
melekat pada cangkang mereka secara permanen yakni pada bagian tengah yang disebut lampiran otot. Beberapa spesies dari
abalon menghasilkan bekas luka pada bagian ini.Pertumbuhan cangkang dimulai
dalam bentuk larva dan abalon hanya bisa masuk ke cangkang setelah tahap larva
mereka selesai.Jika mereka dikeluarkan dari cangkang, mereka masih dapat tetap
hidup tanpa mengalami cedera ataupun terluka. Tetapi tidak dapat membuat
cangkang baru lagi dan tidak akan bisa
kembali ke cangkang yang lama. Abalon bergantung pada cangkang mereka
untuk melindungi diri, Karena seperti yang kita ketahui bahwa binatang yang
tidak memiliki cangkang lebih mudah dimangsa oleh predator yang ada di alam
dibandingkan dengan binatang yang memiliki cangkang.
b)
Kaki Abalon
Abalon memiliki kaki yang digunakannyauntuk
berpindah tempat. Kaki tersebut seluruhnya melekat pada tempat mereka berjalan,
sangat persis dengan cara siput berjalan.
Gambar 4.
Otot Kaki Abalon
|
Pada gambar di atas kita dapat melihat kaki abalon dengan
jelas. Kaki tersebut akan menekan tubuh abalon pada kaca atau dimanapun dia
berjalan. Terlihat tepi epipodium lobed dan epipodial tentakel sepanjang tepi
kaki.
Kaki abalon
memenuhi sebagian besar ruang yang ada pada cangkang.Kaki abalon merupakan otot
yang kuat, luas dan datar.Dengan menggunakan kaki inilahabalonmampu menempel
pada lingkungannya (biasanya permukaan berbatu) dan membantunya menjelajah
sekitar untuk mencari makanan.Kaki abalon terkenaldengan kekuatannya
menempel.Oleh karena itu, para pemburu abalonbiasanya membawa alat khusus (besi
abalon) untuk mempermudah mereka mengambil abalon.
Organ abalon berada disekitar otot kaki.Organ tersebut
adalah organ pencernaan, pernapasan, peredaran darah dan sistem reproduksi.Kepala
dan mulut abalon berada tepat di dekat lubang terbuka yang paling baru
terbentuk pada cangkang.Tikungan saluran pencernaan kiri (jika dilihat dari
atas), kembali ke puncak (di bawah spiral) dan di sepanjang sisi kiri hingga
berakhir di anus.Anus berada tepat di bawah lubang terbuka terakhir dan pada
akhir
celah di dalam mantel di sisi kiri
dari abalon.
c)
Kepala
Di bagian kepala abalon terdapat
mulut, sepasang tentakel oral, sepasang mata, dan radula internal.Tentakel oral
dapat diperpanjang keluar, tentakel yang berada di bawah cangkang ini berguna
untuk merasakan daerah sekitarnya.Berada dekat dari tentakel oral, terdapat
sepasang mata abalon yang sensitif terhadap cahaya. Mulut abalon yang letaknya
berada ditengah akan ditekan ke bawah menghadap makanan (ganggang) ketika
makan, dan radula berguna untuk mengikis potongan makanan. Semua jenis abalon
merupakan hewan herbivora, pemakan tumbuhan terutama berbagai jenis ganggang
laut.
Gambar 7.Bagian Kepala Abalon
|
d)
Radula
Radula seperti rantai mini yang terdiri dari deretan gigi tajam yang saling berkait. Para moluska terus membentuk gigi radula baru seumur hidup mereka. Bahan keras yang digunakan untuk menekan radula di abalon disebut odontophore. Radula berfungsi sebagai alat untuk mengikis makanan sebelum kemudian ditelan oleh abalon.
Radula seperti rantai mini yang terdiri dari deretan gigi tajam yang saling berkait. Para moluska terus membentuk gigi radula baru seumur hidup mereka. Bahan keras yang digunakan untuk menekan radula di abalon disebut odontophore. Radula berfungsi sebagai alat untuk mengikis makanan sebelum kemudian ditelan oleh abalon.
Gambar 8. Radula Abalon
|
e)
Organ
Reproduksi
Organ
reproduksi abalonterlihat di sisi kanan dari abalon berwarna kehijauan.Kaki dan
epipodium dari abalon ada pada bagian bawahtangan orang yang memegangnya.Mantel
tipis terlihat di bawah cangkang.Abalon pada gambar di samping ini adalah
betina.
Organ ini terletak di saku mantel dan akan membesar dan membengkak
ketika hendak pemijahan. Abalon betina memproduksi telur hijau dan organ
reproduksi mereka adalah warna kehijauan.Abalonjantan menghasilkan sperma krem
dan organ reproduksi mereka berwarna krem.Abalon melakukan pemijahan secara
massal. Telur dan sperma yang telah dihasilkan akanmeninggalkan organ
reproduksi dan melakukan perjalanan melalui saluran kecil menuju ke daerah
dekat anus, tepat di bawah lubang terbuka cangkang.
f)
Jantung
Gambar 10.
Letak jantung abalon
|
g)
Insang
Gambar 11. Insang
|
h) Usus
Usus dan rektum dari sisi belakang
ke margin depan tubuhnya akan bulat sisi kiri otot adduktor dan kemudian kurva
kembali ke sisi depan lagi. Panjang usus adalah 3,27 kali dari shell. Sistem pencernaan dari abalon yang panjang dan rumit,
seperti halnya dengan banyak herbivora.
i)
Anus
Gambar 12.
Bagian anus
|
j)
Sistem
Saraf
Sistem saraf abalon berkembang kurang
baik.Terdapat empat pasang pusat saraf otak yang terletak disekeliling mulut,
rangkaian saraf kaki, pusat saraf usus, rangkaian saraf tepi dan saraf
penghubung yang terhubung panjang dan saling silang.
Pada siang hari atau suasana terang, kerang abalon
lebih cenderung bersembunyi di karang-karang dan pada suasana malam atau gelap
lebih aktif melakukan gerakan berpindah tempat.Ditinjau dari segi perairan,
kehidupan kerang abalon sangat dipengaruhi oleh kualitas air.Secara umum,
spesies kerang abalon mempunyai toleransi terhadap suhu air yang berbeda-beda,
contoh; H. kamtschatkana dapat hidup
dalam air yang lebih dingin sedangkan H.
asinina dapat hidup dalam air bersuhu tinggi (30oC).
k) Enzim pendegradasi pada pencernaan
Herbivora laut termasuk abalon umumnya memiliki
enzim-enzim pendegradasi dinding sel komponen pakan di dalam saluran
pencernaannya (Gomez-Pinchetti dan Garcia-Reina 1993) dan memiliki kemampuan
untuk menggunakan agar-agar, alginat, karagenan sebagai sumber energi (Erasmus et
al. 1997).Disamping itu, dalam saluran pencernaan abalon juga ditemukan
enzimenzim polisakarase eksogen yang disumbangkan oleh bakteri enterik.Kelompok
bakteri enterik memainkan peranan penting bagi penyediaan nutrisi abalon dengan
menghidrolisis komplek polisakarida menjadi molekul sederhana yang dapat
diserap oleh abalon.Sebanyak 70-90% aktivitas bakteri polisakarolitik
menghasilkan enzim-enzim polisakarase ekstraseluler yang disekresikan ke dalam
saluran pencernaan abalon (Erasmus et al. 1997).
Katabolisme monosakarida oleh bakteri enterik
menghasilkan sejumlah besar asam asetat dan format yang dapat digunakan sebagai
sumber energi atau prekursor sintesis asam amino oleh abalon (Thompson et al.
2004; Prado et al. 2010).Michel et al. (2006) dalam ulasannya
menyebutkan bahwa beberapa kelompok bakteri laut menghasilkan enzim agarase
ekstraseluler yang dapat mendegradasi agar-agar menjadi agarooligosakarida dan
galaktosa.
l) Endokronologi
abalon
Endokrinologi
merupakan cabang ilmu biologi yang membahas tentang hormone, osmoregulasi,
pengeluaran, dan metabolisme air
dan garam.
Faktor lingkungan yang
mempengaruhi kematangan gonad meliputi temperatur, air, kualitas air, periode
panjang (phoperiod), pasang surut, gelombang, temperatur udara, salinitas dan
makanan (kualitas dan kuantitas) (Setyono, 2011).Menurut Sutisma dan Sutarmanto
(1995), pematangan gonad di dorong oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu,
lama penyinaran matahari, organisme makanan yang tersedia diperairan bebas dan
lain-lain.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Hahn (1992) dalam Setyono (2004)
bahwa sistem endokrinologi/hormonal dimana reproduksi berhubungan dengan
tersedianya hormon neurosecretory pada cerebral, pleural/pedal
dan visceral ganglia.
Semua tingkatan pada fase-fase reproduksi kekerangan dikontrol oleh
system hormonal, dan peningkatan kadar hormonal di dalam tubuh kekerangan
dipengaruhi oleh faktor lingkungan termasuk lama penyinaran (photopheriod),
suhu air (temperature) dan nutrisi (Lasiak, 1987; Grange, 1976).Proses
reproduksi pada hewan dikendalikan oleh hormon. Pada ikan, reproduksi bukan
hanya dipengaruhi oleh hormon, tetapi juga oleh faktor lingkungan luar seperti
foto periodik, kondisi air, makanan dan rangsang luar. Menurut Isnaeni (2006),
rangsang luar tersebut diterima oleh ikan melalui reseptor, kemudian diteruskan
ke pusat neuroendokrin dan akhirnya akan mempengaruhi perubahan dalam gonad
(organ reproduksi). Perkembangan dan fungsi testis dipelihara oleh hormon
gonadotropin (FSH dan LH) yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis anterior.LH
disebut juga Interstitial Cell-Stimulating Hormon (ICSH) karena hormon
ini bekerja merangsang sel interstitial Leydig.Sintesis dan sekresi hormon
gonadotropin dari hipofisis anterior distimulasi oleh Gonadotropin Releasing
Hormon (GnRH) yang dihasilkan oleh hipotalamus (Seeley et.al., 1998 dalam
Hestiana, 2002). FSH bekerja di
dalam tubulus seminiferus untuk merangsang proses spermatogenesis melalui sel
Sertoli (Veldhuis, 1991 dalam Hestiana, 2002). FSH berikatan dengan
reseptor spesifik yang melekat pada sel-sel Sertoli yang menyebabkan sel-sel
tumbuh dan mensekresi berbagai substansi spermatogenik, serta merangsang fungsi
sel Sertoli yang lain. Sementara itu, LH merangsang sel Leydig untuk
menghasilkan testosteron.Testosteron ini kemudian masuk ke tubulus seminiferus
(sel Sertoli) dan mempunyai efek tropik yang kuat terhadap spermatogenesis
(Guyton dan Hall, 1996 dalam Hestiana, 2002).
D. Kebiasaan Makan
Pakan
merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam menunjang keberhasilan
budidaya kerang abalon, kelangsungan hidup, dan pertumbuhan.Ketepatan jenis
pakan yang diberikan menjadi pertimbangan utama dalam pemberian pakan.Makanan
utama abalon dewasa adalah potongan-potongan makroalga yang hanyut terbawa arus
dan gelombang, terutama kelompok alga merah.Juvenil abalon memakan alga yang
hidup di batu karang, diatom, dan bakteri, sedangkan larva abalon memakan
plankton (Anonymous, 2007a dan Anonymous, 2007c).Jenis pakan kerang abalon
adalah seaweed yang biasa disebut
makroalga, namun tidak semua dapat dimanfaatkan dengan baik sebagai sumber
makanan.
Rumput laut
tergolong tanaman berderajat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat,
tidak mempunyai akar dan batangnya berupa thalus (Anggadiredja et al., 2006).Abalon
dapat mencerna rumput laut karena memiliki enzim yang dapat melisis jaringan
dinding sel rumput laut seprti enzim selulase dan pektinase atau secara
komersial disebut dengan macerozyme (Mulyaningrum & Suryati, 2008).
Saat ini, pakan yang terbaik yang
diberikan rumput laut jenis Gracilaria sp. yang merupakan makanan
favorit untuk kerang abalon. Selain Gracilaria sp. jenis seaweed yang lain juga dapat diberikan,
seperti Ulva sp. Saat pemberian pakan, perlu diperhatikan kebersihan dan
kesegaran pakan. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya predator-predator
yang terbawa dan menghindari pakan yang hampir/telah mati yang nantinya akan
membusuk dan menimbulkan racun bagi kerang abalon (BBL Lombok, 2008). Menurut
Millamena dan Teruel (1999) menyatakan bahwa makanan abalon sebesar 2-5% dari
berat tubuhnya per hari memanfaatkan pakan kering yaitu makanan alami berupa rumput laut jenis Gracilariaopsis
bailinea.
Hal
yang juga menarik dari budidaya abalon adalah bersifat low tropic level (larvanya
memakan benthic diatom dan dewasanya memakan rumput laut/makroalga)
dengan demikian dapat dikatakan biaya produksinya relatif murah.Konsekuensi
logis dari pengembangan budidaya abalon adalah tersedianya benih dalam jumlah
dan kontinuitas yang memadai.
Abalon termasuk herbivora, pemakan jenis rumput laut
seperti alga merah, coklat, dan alga hijau (Fallu, 1999 dalam Effendy, 1997).Selanjutnya abalon memakan Gracilaria sp. dan Ulva serta Ecklonia, Laminaria, Macrocytis, Undaria, dan Sargasum (Fallu, 1991 dalam Pantjara dkk, 1994).
Spesies G.
arcuatamerupakan makroalga
dari kelas rhodophyta, Famili Gracilariaceae,
Genus gracilaria. Makroalga jenis
ini mempunyai bentuk thalus silindris, berwarna cokelat kekuningan, relative
pendek dan meruncing kearah ujung.Membentuk rumpuan yang kaku.Hidup pada daerah
bebatuan dan berpasir, dan umumnya menempel pada substrat.Mengandung agar,
karagenan, alginate, protein, vitamin dan mineral (Setyobudiandi dkk., 2009). Berikut beberapa contoh
rumput laut yang merupakan makanan bagi abalon :
Gambar A. Ulva fasciata
|
Gambar B. Glacillaria
sp.
|
A
|
B
|
Penelitian
tentang pakan dari jenis rumput laut berbeda pada abalon pernah dilakukan oleh Bambang
et al., (2010).Dilaporkan hasil penelitian tersebut bahwa pakan dari
jenis rumput laut Gracilaria sp adalah pakan yang terbaik untuk
abalon.Abalon termasuk hewan herbivora, sehingga dapat mengkonsumsi rumput laut
sebagai pakan.Jenis rumput laut yang dapat digunakan sebagai pakan abalon
adalah Gracilaria sp. maupun Ulva sp (Nurfajri, 2014).
E.
Kualitas Air
Parameter kualitas air untuk budi daya kerang abalon (H. asinina), antara lain adalah salinitas ppt 30-33, Suhu
29,5-30°C, DO mg/l 5,9-6,11, pH 8,2-8,9, kecerahan m >10. Lokasi untuk pembesaran
abalon adalah perairan karang yang terlindung dari gelombang dan angin yang
kuat, abalon membutuhkan media air yang bersih dan jernih. Nilai parameter
kualitas air untuk suhu 27-30oC, salinitas 29-33‰, pH antara 7.6-8.1 dan DO 3.27-6.28ppm. Jika akan
dipelihara di bak, kualitas airnya harus diusahakan sama seperti di perairan
karang. (Fishblogs, 2009).
Abalon dapat beraktivitas secara normal pada suhu dan salinitas normal
yaitu antara 28-340C dan salinitas 29-37‰. Abalon akan mengalami
stres dan berakhir dengan kematian karena kenaikan atau penurunan suhu dan
salinitas yang tajam (Fallu, 1991).
Parameter
kualitas air yang menunjang untuk pertumbuhan abalon pada sistem resirkulasi
yaitu NH3 0-0.025mg/l, NO2 0-0.5mg/l, NO3
0-50mg/l, dan DO 90-100%-6.5-8mg/l (Leighton, 2008).
F. Jenis- Jenis Abalon
Di
perairan Indonesia terdapat 7 jenis abalon yaitu Haliotis asinine, H. varia,
H. squamosa, H. ovina, H. glabra, H. planate dan H. crebrisculpta (Dharma,
1988). Ditemukan lebih dari 100 species abalon (Geiger, 2005), 20 jenis
diantaranya bersifat ekonomis (Andy Omar, et al. 2000) dalam Litaay
dkk.(2012). Beberapa jenis abalon dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.Beberapa
jenis abalonHaliotis sp.
Spesies
|
Gambar
|
Ø Haliotis asinine
|
|
Ø Haliotis squamata
|
|
Ø
Haliotis brazier
|
|
Ø
Haliotis cyclobates
§
|
|
Ø
Haliotis corrugate (The Pink Abalon)
|
|
Ø
Haliotis diversicolor
|
|
Ø
Haliotis jacnensis
|
|
Ø Haliotis laevigata
|
|
Ø Haliotis
midae
|
|
Ø Haliotis
ovina
|
|
Ø Haliotis rufescens
|
|
Ø Haliotis rugosa
|
|
Ø
Haliotis stomatiaeformis
|
|
Ø
Haliotis tuberculatacoccinea
|
|
Ø Haliotis virginea
|
|
Ø
Haliotis alfredensis
|
|
Ø
Haliotis australis
|
|
Ø
Haliotis coccoradiata
|
|
Ø
Haliotis elegans
|
|
Ø Haliotis
glabra
|
|
Ø
Haliotis madaka
|
|
Ø
Haliotis mariae
|
|
Ø
Haliotis planate
|
|
Ø
Haliotis pourtalesiiaurantium
|
|
Ø
Haliotis pustulata
|
|
Ø
Haliotis roei
|
|
Ø
Haliotis rubiginosa
|
|
Ø
Haliotis howensis
|
|
Ø Haliotis rubra
|
|
Ø
Haliotis semiplicata
|
|
Ø Haliotis spadicea
|
|
G. Sistem Reproduksi
Abalon merupakan hewan yang tergolong dioecious (jantan
dan betina terpisah) seperti moluska lainnya.Abalon memiliki satu gonad, baik
jantan maupun betina yang terletak di sisi kanan tubuhnya.Abalon jantan dan
betina dewasa mudah dibedakan, karena testis menampakan warna krem sedangkan
ovarium menampakan warna kehijau-hijauan saat gonad matang.
Gambar 13. Letak gonad abalon
Ket : (A) Gonad abalon betina,
(B) Gonad abalon jantan
Pembuahan terjadi di luar (fertilisasi
eksternal).Garnet jantan dan betina dilepaskan ke suatu perairan, kemudian
terjadi pembuahan (Setyono, 2004a).Telur yang sudah dibuahi menetas
menjadi larva yang melayang, kemudian pada tahap selanjutnya akan memakan
plankton hingga mulai terbentuk cangkang. Ketika cangkang sudah terbentuk,
juvenil abalon akan cenderung menuju ke dasar perairan dan melekatkan diri pada
batu dengan memanfaatkan kaki ototnya. Setelah menenggelamkan diri, abalon
berubah menjadi pemakan makroalga (TOM, 2007).Siklus hidup abalon mulai dari
terjadinya pemijahan hingga abalon menjadi dewasa dan kembali memijah,
disajikan pada Gambar 13.
Gambar 14.
Siklus hidup abalon
Abalon dapat mencapai matang gonad, ketika masih
berukuran kecil.Fekunditas abalon tinggi dan meningkat secara eksponensial,
seiring dengan pertambahan ukuran.Sel telur dan sperma, dilepaskan ke perairan
melalui lubang pernafasan.Walaupun abalon betina mampu menghasilkan jutaan
telur pada satu waktu, laju mortalitas larva dan juvenil abalon sangat tinggi
(Anonymous, 2007b).
Reproduksi abalon diatur oleh hormon neurosecretory (Hahn,
1992).Di daerah yang beriklim empat musim dan subtropis, abalon pada umumnya
memiliki musim pemijahan yang jelas dan bervariasi berdasarkan jenis dan suhu
perairan (Setyono, 2004a).Abalon hitam (H. cracherodii), hijau (H.
fulgens) dan merah muda (H. corrugate) memijah antara musim semi dan
gugur, sedangkan abalon Pinto (H. kamtschatkana) memijah selama musim
panas. Pada beberapa lokasi, abalon merah (H. rufescens) mampu
memijah sepanjang tahun (Tom, 2007 dalam
Octaviany, 2007 ).
H.
Tingkat
Kematangan Gonad
Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu
perkembangan gonad sebelum dan sesudah abalon memijah. Untuk menentukan tingkat kematangan gonad ada
dua cara, yaitu: pertama penentuan yang dilakukan di laboratorium berdasarkan
pada penelitian mikroskopik dan yang kedua yaitu penentuan yang dilakukan
dilapangan atau di laboratorium berdasarkan tanda-tanda umum serta ukuran
gonadnya (Effendie, 1979).
Gambar 15.Perkembangan gonad
abalon
Kriteria tingkat kematangan gonad (TKG)
abalon dapat dibedakan dengan ciri – ciri sebagai berikut :
-
TKG 0
= gonad tidak ada
-
TKG I
= gonad 25% menutupi bagian hepatopankreas.
-
TKG II
= gonad 50% menutupi bagian hepatopankreas.
-
TKG III = gonad 75% menutupi bagian
hepatopankreas.
-
TKG IV = gonad matang siap memijah. 100 %
menutupi bagian hepatopankreas.
I.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi TKG
Ada beberapa hal yang sangat mempengaruhi
tingkat kematangan gonad pada abalon.Kualitas air merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi
dalam usaha budidaya abalon demi kehidupan dan tingkat perkembangannya. Kualitas air yang sesuai akan meningkatkan
pertumbuhan maupun kelangsungan hidup abalon.
Sebaliknya, kondisi kualitas air yang kurang baik merupakan faktor yang
akan menghambat pertumbuhan bahkan kondisi tertentu dapat menyebabkan
kematian. Berberapa parameter lingkungan
yang mempengaruhi kelangsungan hidup abalon meliputi suhu, salinitas,
photoperiode dan makanan (Effendy, 2000).
Nutrisi juga berperan dalam pematangan
seksual, sehingga dapat mempengaruhi reproduksi hewan di alam ataupun dalam
lingkup budidaya.Di alam, nutrisi yang tersedia bervariasi dan tergantung pada
tingkat tropik.Kondisi ini secara alami merupakan salah satu faktor eksternal
penting bagi siklus reproduksi. Dalam budidaya, lingkungan fisik dan nutrisi
induk dapat dimanipulasi untuk mempercepat pematangan gonad dan proses
pembentukan gamet (gametogenesis). Keberhasilan pengkondisian induk
tergantung pada penyediaan kondisi di hatchery yang mendekati kondisi di
alam selamasiklus reproduksi alami, yaitu dengan cara manipulasi air laut dan
penyediaan makanan yang memadai.Perbedaan jenis memperlihatkan komposisi
biokimia yang beragam pada tingkat perkembangan yang berbeda tergantung pada
proses dan tuntutan energi dari telur. Selain konsekuensi perbedaan jenis,
kualitas nutrisi induk betina berpengaruh langsung pada perkembangan embrio dan
larva untuk melewati tahapan ketergantungan pada cadangan energy endogen (Rainuzzo
et al. 1997).Utting & Millican (1998) menernukan bahwa diameter dari
telur moluska berhubungan dengan suhu dan ketersediaan makanan.Pada hewan laut
lainnya seperti pada ikan, keberhasilan fertilisasi, penetasan dan ketahanan
hidup dariembrio dan alevin merupakan indikator biologi.Disamping itu, ukuran
telur, volume kantongkuning telur, dan ukuran alevin pada penetasan merupakan
indikator morfologi dari kualitas telur (Srivastava & Brown, 1991).
Proses
pemijahan abalon, dipengaruhi oleh faktor alam di luar tubuh abalon (eksogen)
dan faktor di dalam tubuh abalon (endogen). Faktor alam yang
mempengaruhi pemijahan antara lain adalah perubahan temperatur air laut, kontak
dengan udara selama air laut surut rendah, perubahan periode penyinaran (photoperiod),
siklus bulan, garnet yang dilepaskan oleh individu lain dan kombinasi dari
faktor-faktor tersebut. Adapula faktor dari dalam tubuh yang mempengaruhi
pemijahan yaitu prostaglandins (PGs) dan beberapa amino yang dihasilkan
oleh sel-sel saraf yang diduga sangat berperan penting pada proses pemijahan
abalon (Setyono, 2004b).
Kenaikan berat gonad menjelang pemijahan
disebabkan oleh bertambahnya ukuran oosit sejalan dengan penimbunan
nutrien dalam proses pematangan tersebut. Komposisi “karkas” terutama lemak
disimpan sebagai sumber nutrisi yang akan dipakai untuk perkembangan embrio. (Berthelein
et al. 2000) menemukan jaringan lain seperti otot yang diketahui sebagai
salah satu gudang protein yang bukan merupakan sumber energy utama selama
siklus reproduksi. Peneliti ini juga menambahkan bahwa glikogen dan lemak yang
tersimpan dalam kelenjar pencernaan, gonad dan daerah mantel selama periode
musim dingin merupakan sumber utama energi pendukung siklus reproduksi.Hal
serupa juga telah diteliti pula pada kekerangan oyster dan abalon lainnya
(Carefoot et al., 2000).
Wada dan Wada (1953) dalam Longo (1988)
mengungkapkan bahwa kenaikan pH pada media dapat meningkatkan kematangan dan
motilitas spermatozoa, selain itu dapat menjadikan telur moluska yang tidak
subur menjadi subur sehingga dapat dibuahi oleh spermatozoa.Induk betina abalon
(H. asinina) yang telah matang gonad tidak menyemprotkan telur
seluruhnya dalam satu periode.Selain itu, perkawinan sangat dipengaruhi oleh
siklus peredaran bulan (bulan gelap atau terang), pasang surut air laut, suhu
air, suhu udara di permukaan air dan kualitas air. Menurut Botsford et al.
(2006), kesesuaian antara kematangan gonad dengan periode pemijahan merupakan
faktor kritis bagi kesuksesan pembuahan atau fertilisasi.
J.
Habitat
dan Penyebaran
Siput Abalon ditemukan di perairan dangkal pada daerah yang
berkarangatau berbatu yang sekaligus dipergunakan sebagai tempat menempel.Abalon bergerak
dan berpindah tempat dengan menggunakan satu organ yaitu kaki.Gerakan kaki Abalon
sangat lambat, sehingga memudahkan predator untuk memangsanya (Tahang et
al., 2006).
Abalon menyukai daerah bebatuan di pesisir pantai
terutama pada daerah yang banyak ditemukan alga.Perairan dengan salinitas yang
tinggi dan suhu yang rendah juga merupakan syarat hidup abalon.Abalon dewasa
lebih memilih hidup di tempat-tempat dimana banyak ditemukan makroalga. Di
daerah utara (Alaska sampai British Columbia), abalon umumnya berada pada
kedalaman 0-5 m, tetapi di California abalon berada pada kedalaman 10 m. (Lepore,
1993 dalam Octaviany, 2007).Di
perairan Indonesia terdapat 7 jenis abalon yaitu Haliotis asinine, H. varia,
H. squamosa, H. ovina, H. glabra, H. planate dan H. crebrisculpta (Dharma,
1988).
Penyebaran
kerang abalon sangat terbatas.Tidak semua pantai yang berkarang terdapat kerang
abalon.Secara umum, kerang abalon tidak ditemukan di daerah estuaria yaitu
pertemuan air laut dan tawar yang biasa terjadi di muara sungai.Ini mungkin
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adanya air tawar sehingga
fluktuasi salinitas yang sering terjadi, tingkat kekeruhan air yang lebih
tinggi dan kemungkinan juga karena konsentrasi oksigen yang rendah.Pada siang hari atau suasana terang,
siput Abalonlebih cenderung sembunyi di karang atau batu.Sedangkan pada suasana
malamatau gelap lebih aktif melakukan gerakan berpindah tempat (bersifatnocturnal).Selanjutnya
Bosch, (1982) dan Johnson at.al. (1992) dalam Hamzah (2013)
mengemukakan bahwa abalon (Haliotis mariae) senang menyebar dan
terkonsentrasi pada daerah intertidal sampai subtidal yang berkarang hingga
pada kedalaman 20m.
Salah
satu negara produsen abalon terbesar di dunia yakni Australia.Australia
merupakan salah satu wilayah dengan penyebaran abalon melimpah dengan berbagai
jenis seperti abalon blacklip, greenlip, brownlip, dan roei.Berikut dapat
dilihat pada Gambar 16.
Jenis abalon di alam diperkirakan lebih dari 100
spsies, namun yang telah berhasil dibudidaya hanya beberapa spesies saja. Di
jepang ada 7 spesies yang dibudidaya yaitu H.
gigantean, H. sieboldii, H. discus, H. discus hannai,H.
diversicolor, H. asinine dan H. supertexta(Takashi, 1980dalam Susanto dkk., 2010).
III.
METODE
PRAKTEK
A. Waktu
dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada bulan
agustus 2012
sampai dengan Maret
2015 dan
bertempat di HatcheryAbalon PT. Sumber Laut Nusantara kerjasama LP2T-SPK Desa
Tapulaga Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe, Sulawesi tenggara.
B. Alat
dan Bahan
No.
|
Alat dan Bahan
|
Kegunaan
|
1.
|
Alat
|
|
|
-
Plat
-
Aerator
-
Lampu
-
Filter bag
-
Saringan
-
Toples
-
Fiber
-
Mikroskop
|
Sebagai substrat bentik
Penyuplai oksigen
Sumber cahaya
Menyaring air
Menyaring telur
Wadah kultur
pakan alami skala lab
Tempat
pemeliharaan abalon dan kultur massal pakan alami
Untuk mengamati
telur
|
2.
|
Bahan
|
|
|
-
Abalon (Haliotis
asinina)
-
Rumput laut
-
Lamun
-
Pupuk
|
Obyek pengamatan
Sebagai pakan
induk abalon
Sebagai sumber pakan alami larva
|
C. Kegiatan
Pembenihan
Kegiatan pembenihan
ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu sebagai berikut :
1.
Persiapan dan Pemeliharaan Induk
Pemilihan
induk untuk pembenihan di ambil dari alam dan induk dari hatchery, dengan
persyaratan harus sehat dan matang gonad. Induk yang dipilih berukuran 4-5 cm,
pemeliharaan induk dilakukan di bak pemeliharaan dengan pemberian pakan yang
memicu gonad untuk berkembang lebih cepat.
Gambar 16. Induk diambil dari alam (sumber: PT.
Sumber Laut Nusantara kerjasama LP2T-SPK)
|
Gambar 17. Bak penyimpanan
pakan induk
(sumber: PT.
Sumber Laut Nusantara kerjasama LP2T-SPK)
|
Gambar 18. Bak pemeliharaan
induk
(sumber: PT.
Sumber Laut Nusantara kerjasama LP2T-SPK)
|
2.
Produksi pakan alami (bentik diatom) untuk larva
Produksi
pakan alami dilakukan dengan mengisolasi diatom
dari lamun dan padina kemudia dilakukan pemupukan dan pemeliharaan
sesuai dengan petunjuk (Effendy, dkk 2004 dan Personal Komunikasi, 2012),
kegiatan kultur pakan alami dalam sekali kultur mampu mencapai 12 bak. Pakan
alami yang dikulltur bervariasi, diantaranya: nitzchia, coconeis, ampora.
Pemupukan
inoculum diatom yang dikutur dalam toples 5 liter menggunan TMRL Medium atau F
medium yaitu:
TMRL MEDIUM (1ml/L)
1. KNO3NaNO3 ------------------------ 100g/1L DW
2. NaHPO4.12H2O ------------------------ 10 g/1L DW
3. FeCl3.6H2O ------------------------
3g/1L DW
4. Na.SiO3.9H2O ------------------------ 1g/1L
DW
F MEDIUM
1. NaNO3 ----------------------------------------- 84.148g
NaHPO4.12H2O --------------------------- 10.g
DW 1L
2. Na.SiO3.9H2O --------------------------- 30g
DW
1L
3. FeCl3.6H2O ---------------------------- 2.90 g
DW
1L
4. Na2EDTA ---------------------------- 10g
DW
1L
5. Vitamin Stock
B1 ------------------------------------- 0.2g
B12
Primary stock ------------------- 1ml
Biotin
Primary stock ------------------- 1 ml
DW
1L
6. Trace metal A, B,C,D, E ------------------- 1ml each
DW
1L
dikultur selama 15 hari didalam toples.
Gambar 19. Pupuk TMRL dan isolasi diatom
Sumber:
sumber: PT. Sumber Laut Nusantara
kerjasama LP2T-SPK
Pemeliharaan
bentik diatom dilakukan dengan cara pemberian pupuk setiap hari selama 3 hari.
Adapun jenis pupuk yang digunakan diantaranya pupuk UREA, TMRL dan KCL dan
diberi aerasi serta flow-through.
Kultur massal diatom yang telah
berumur 15 hari dilakukan dengan cara memindahkan diatom dari toples kemudian
diberi pupuk komersial yaitu:
1. urea ------------------------------------ 7.5 g/L
2. 21-0-0 (NPK) --------------------------- 150g/L
3.
16-20 (Ammonium phosphat) --------- 25
g/L
4. EDTA --------- 5g/L
5. FeCl3 ------------- 5g/L
6. Silicate --------- 15g/L
Gambar 20. Proses pencucian dan
penyaringan lamun
(sumber: PT.
Sumber Laut Nusantara kerjasama LP2T-SPK)
|
Gambar
21. Fiber Kultur Massal pakan alami (bentik diatom)
(sumber:
PT.
Sumber Laut Nusantara kerjasama LP2T-SPK)
|
Gambar
22. Jenis
pupuk yang diberikan
(sumber:
PT.
Sumber Laut Nusantara kerjasama LP2T-SPK)
|
3.
Pemijahan
Pemijahan abalon
diawali dengan pemilihan induk yang betul-betul matang gonad, abalon yang
matang gonad dipisahkan ke bak pemijahan dengan diberi perlakuan dan
pakannya.Abalon memijah secara alami pada bak pemijahan.
Gambar 23. Bak-bak pemijahan
(sumber: PT.
Sumber Laut Nusantara kerjasama LP2T-SPK)
|
4.
Pemeliharaan
Larva
Abalon yang telah mengalami pemijahan hingga
fertilisasi kemudian disaring dan dipindahkan ke bak pemeliharaan larva yang
telah berisi pakan alami berupa diatom dan diberi aerasi dan flowtrough, akan
tetapi flowtrough diberikan setelah larva abalon melekat pada permukaan bak
atau plat karena abalon yang dipindahkan dari bak pemijahan ke bak pemeliharaan
larva tidak langsung melekat, abalon yang dipindahkan ke bak pemeliharaan larva
akan melayang-layang selama 2-4 hari. Flowtrough dimaksudkan agar air selasu
berganti agar terhindar dari cacing air yang akan menjadi pesaing abalon untuk
mendapatkan makanan berupa bentik diatom.
Gambar
25. Di stok pada fiber kultur pakan alami
(sumber:
PT.
Sumber Laut Nusantara kerjasama LP2T-SPK)
|
Gambar 24. Penyaringan dan
pengamatan telur
(sumber: PT.
Sumber Laut Nusantara kerjasama LP2T-SPK)
|
Tahap Pemeliharaan
larva
-
Pemupukan
Pemupukan pada
bak pemeliharaan larva dilakukan pada saat pakan alami sudah mulai
berkurang.Pemupukan dilakukan setiap 2 hari sekali dengan penambahan air lamun
yang disaring sebanyak 10 liter/3 hari pemberian air lamun.
-
Sistem
air pemeliharaan
Sistem
pemeliharaan air yang digunakan adalah system flow trough atau system air
mengalir pada bak pemeliharaan larva.System air mengalir digunakan ketika larva
abalone telah melekat pada permukaan wadah/plat, system air mengalir digunakan
untuk tetap menjaga kualitas air pada bak pemeliharaan larva tetap dalam
kondisi baik, system ini juga baik dugunakan karena dapat mengurangi parasit seperti
cacing air karena cacing air tidak dapat hidup pada kondisi air mengalir.
-
Penyiponan
Penyiponan dilakukan
pada bak pemeliharaan larva ketika telah dipastikan bahwa larva abalone
benar-benar melekat pada permukaan wadah sehingga apabila dilakukan penyiponan
pada bak pemeliharaan larva tidak lagi dikhawatirkan benih/larva ikut terbawa
dengan kotoran pada saat penyiponan.Penyiponan dilakukan untuk mengurangi
kotoran yang ada pada pada bak pemeliharaan, penyiponan juga dilakukan untuk
menghilangkan cacing air yang menjadi pesaing larva abalone untuk mendapatkan
makanan berupa bentik diatom.
-
Pengkayan
pakan alami bentik
Tahap
pemeliharaan larva abalone dilakukan pada bak pemeliharaan yang telah berisikan
pakan alami/bentik. Abalone ditebar pada bak pemeliharaan dengan menyediakan
pakan alami, pakan alami pada bak pemeliharaan diperkaya dengan menambahkan air
saringan dari lamun ke bak pemeliharaan sebanyak 10 liter/bak dengan interval
waktu 3 hari sekali. Bak pemeliharaan
yang diperkaya dengan pakan alami kemudian dipupuk.
-
Pencahayaan
Pemeliharaan
larva abalone yang dilakukan pada bak diberi pencahayaan dengan cahaya lampu
pada saat malam hari selama 12 jam dan pada siang hari kondisi terang, salah
satu fungsi pencahayaan dilakukan untuk menjaga agar bentik dapat
berfotosintesis pada bak pemeliharaan sehingga larva tetap mendapat asupan
makanan (bentik).
-
Pemeliharaan
3-4 bulan
larva abalone yang dipelihara pada
bak pemeliharaan selama 3-4 bulan dengan pemberian pakan alami berupa bentik,
abalone yang dikultur tidak semua hidup sampai umur 4 bulan. Larva abalone yang
ditebar pada bak pemeliharaan selama 3-4 bulan dengan ukuran rata-rata 5 mm.
5.
Panen
juvenile / benih
Setelah dilakukan pemeliharaan beberapa bulan dan tetap
disediakan bentik diatom sebagai pakan alami larva.
Larva abalone yang dipelihara selama 2 bulan pada bak pemeliharaan dapat
mencapai ± 300 ekor larva abalone/bak . Larva kemudian tumbuh menjadi juvenil dan kemudian dilakukan panen juvenil untuk dipindahkan
pada bak pemeliharan dan mulai diberikan pakan alami rumput laut.
Gambar 26. Produksi juvenil
muda
(sumber: PT.
Sumber Laut Nusantara kerjasama LP2T-SPK)
|
Sistem Budidaya
Kegiatan berikutnya yaitu melakukan kegiatan budidaya
dengan menggunakan beberapa sistem budidaya yaitu:Sistem Karamba Jaring Tancap
(KJT), Sistem Resirkulasi Tertutup, Sistem Pergantian Air 100%, Sistem Flow
Through dan Sistem IMTA. Benih yang digunakan untuk kegiatan budidaya ini yaitu
benih yang berasal dari hatchery yang telah dipelihara selama beberapa bulan
dan telah diberikan pakan alami berupa rumput laut.
a.
Karamba Jaring Tancap (KJT)
Gambar 27. Budidaya Abalon dengan Sistem Karamba Jaring
Tancap (KJT) menggunakan prinsip-prinsip budidaya secara
intensif, dimana lahan yang digunakan terbatas, pemberian pakan yang teratur,
dan mudahnya dilakukan kontrol terhadap lingkungan.(Sumber: PT. Sumber Laut Nusantara kerjasama LP2T-SPK).
b. Sistem Resirkulasi Tertutup
Gambar 28. Budidaya abalon dengan Sistem Resirkulasi Tertutup pada prinsipnya menggunakan kembali (re-use) air untuk budidaya sehingga dapat
mengurangi penggunaan air dari luar sistem, dalam pelaksanaannya air yang
digunakan tidak berhubungan langsung dengan sumbernya tetapi melewati filter,
pergantian air dapat dikatakan tidak pernah dilakukan dan hanya penambahan air untuk mengganti air yang
hilang akibat penguapan.
b.
Sistem Pergantian Air 100
%
Gambar 29. Budidaya abalon dengan Sistem Pergantian Air 100%
pada prinsipnya pergantian air dilakukan setiap hari sehingga kualiatas air
tetap terjaga serta mengurangi penumpukan feses abalon.(Sumber: PT.
Sumber Laut Nusantara kerjasama LP2T-SPK).
d. Sistem Flow Through
Gambar
30.
Budidaya abalon dengan
sistem flow through pada
prinsipnyaketersediaan
air menjadi pertimbangan yang penting dalam menjamin kelangsungan budidaya
dimana air akan dipompa secara terus menerus dan akan terjadi pergantian air
sehingga kualitas dan kesegaran air akan tetap terjaga. (Sumber:
PT. Sumber Laut Nusantara kerjasama LP2T-SPK).
e.
Sistem IMTA
Gambar 31.
Budidaya abalon dengan sistem IMTA yang pada prinsipnya dikombinasikan dengan berbagai
organisme budidaya lainnya yaitu rumput
laut, teripang, kerang dan tiram, dimana abalone
berperan sebagai organisme tingkat tropic yang
paling tinggi, teripang berperan sebagai pengekstrak sisa-sisa kotoran
dari abalone, kemudian kerang
memanfaatkan sisa-sisa metabolism teripang dan rumput laut menyerap unsur-unsur
inorganik.
(Sumber: PT. Sumber Laut Nusantara kerjasama LP2T-SPK).
4. Pakan dan Pemberian Pakan
Gambar 32.Dalam
kegiatan budidaya abalon pakan
yang diberikan untuk berupa makroalga/rumput laut seperti Gracillaria Verucosa, Arcuata, Sallicornia dan Ulva sp. (Sumber: PT. Sumber Laut Nusantara kerjasama LP2T-SPK).
Lay
out hatchery pembenihan abalonH. asinine
Gambar 27. Lay out hatchery (Kerja
sama PT Sumber Laut Nusantara dan Lembaga PenelitianLP2T-SPK)
IV.
KEGIATAN BUDIDAYA
A.
Pengadaan
Induk
Produksi dari kebanyakan budidaya abalon tergantung
dari induk yang diambil dari alam.Untuk abalon dari alam, karakter reproduksi
terutama induk betina tidaklah mudah dievaluasi hanya berdasar kondisi
eksternal.
Penyediaan
induk abalon yang matang gonad dan siap dipijahkan merupakan faktor utama dalam
kegiatan pembenihan dan ketersediaannya baik kuantitas maupun kualitas menjadi
tolok ukur keberhasilan produksi benih. Secara teknis tahapan pematangan abalon
telah dihasilkan akan tetapi tahapan lain yang cukup membutuhkan pemikiran
adalah memperoleh telur yang terbuahi dan menetas menjadi larva hingga benih.
Untuk mendapatkan telur harus melalui proses pemijahan yang dapat berlangsung
secara alami maupun buatan. Secara alami, abalon yang telah matang gonad akan
melakukanpemijahan karena rangsangan perubahan suhu secara tiba-tiba oleh
kondisi pasang-surut dalam Soleh dan
Suwyono (2008).
Pilihan induk siap memijah dalam budidaya abalon
berdasarkan penampakan eksternal dari hewan dewasa, dimana kriteria utama yang
digunakan adalah : ukuran, warna dan bentuk gonad (HAW, 1989; SETYONO, 2004).
Namun demikian hewan pilihan berdasarkan kriteria tersebut tetap memperlihatkan
variabilitas reproduksi.Misalnya variasi yang cukup besar pada tingkat
fertilitas telur, persentase keberhasilan penetasan dan keberhasilan menempel
pada substrat.Pada abalon yang berukuran besar dengan telur yang berdiameter rata-rata
250 μm diharapkan memperlihatkan karakter reproduksi yang baik (dari berbagai
sumber). Variabel kualitas telur merupakan salah satu faktor pembatas pada
keberhasilan produksi massal dari benih atau nener ikan dan spesies kultur
lainnya untuk tumbuh mencapai ukuran pasar (KTORSVIK et al. 1990).
Observasi tentang kualitas telurdalam hubungannya dengan keberhasilan larva
yang dihasilkan akan memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan dan merupakan
alat untuk identifikasi awal kualitas induk (Litaay, 2005).
Induk yang dipijahkan biasanya berukuran
cangkang ≥ 4-5 cm, dalam kondisi segar dan sehat, tidak terluka serta gonadnya
tampak menggembung dengan warna gonad yang jelas. Warna gonad menunjukkan jenis
kelamin.Gonad jantan berwarna putih keruh dan gonad betina berwarna biru tua
kehitaman.Tingkat kematangan gonad abalon dilihat dengan memegang cangkang
abalon kemudian menyingkap otot kaki pada sisi yang berlawanan dengan letak
lubang cangkang menggunakan spatula berbahan plastik.
B.
Pembenihan
Abalon bersifat gonokoris, memiliki satu gonad (jantan atau
betina) yang berada di sebelah kanan tubuh.Abalon mengalami matang gonad
setelah berumur 6-8 bulan dengan panjang cangkang 35-40 mm. Jenis kelamin Abalonmudah
dikenali, yaitu ketika gonad telah masak testes berubah warna menjadicream dan
ovari menjadi kehijauan. Fertilisasi eksternal terjadi saat jantan
dan betina mengeluarkan gamet langsung ke kolom air. Ukuran telur sangat
kecil,sekitar 0,2 mm dan berjumlah sangat banyak (Faisal, 2005).Pemijahan pada H. asinina menurut Counihan et
al (2001) sangatteratur dibandingkan famili Haliotid dan invetebrata laut
lainnya, di mana periode pemijahan cenderung serentak (syncronous).Peristiwa
yang terjadi ini dipengaruhi lebih dari satu faktor lingkugan.Musim pemijahan abalon
di HeronReef Australia berlangsung dari Oktober – April yang
berhubungan erat dengan temperatur air.
Setyono (2004) membuat sebuah pedoman
berupa deskripsi pengelompokan tingkat kematangan gonad abalon H. asinina (Tabel 1).
Tabel 1.Klasifikasi
tingkat kematangan gonad H.asinina (Setyono, 2004)
Tingkat Gonad
|
Tingkat kematangan
|
Visual Gonad (%)
|
Deskripsi
|
0
|
Pengisian/ Pembentukan
|
<25
|
Gonad terlihat di ujung dari
kelenjar pencernaan, gonad jantan terlihat berwarna krem putih dan gonad
betina terlihat berwarna hijau muda.
|
1
|
Pematangan
|
25-49
|
Gonad berkembang dan menutup
kira-kira 25-49 % dari bagian kelenjar pencernaan.
|
2
|
Matang
|
>49
|
Gonad berkembang penuh, menutup
lebih dari 49% dari kelenjar pencernaan. Gonad jantan berwarna orange, betina
berwarna hijau. Biota yang matang penuh gonad akan menutup >75% dari
kelenjar pencernaan, menjadi cembung dan dapat terlihat dengan jelas.
|
3
|
Pemijahan sebagian
dan istirahat
|
<50
|
Biota melepaskan gamet dan gonad
menjadi mengerut dan pucat. Sulit dibedakan antara biota yang baru mengalami
pembentukan gonad dan yang telah mengalami pelepasan gonad, dan hanya dapat
dibedakan berdasarkan ukuran presentase area gonad.
|
Pengeluaran gamet terjadi dalam 2
malam setiap 2 minggu pada periode bulan gelap dan purnama.Hubungan antara
pemijahan dengan periode bulan (lunar periode) belum diketahui secara
pasti.Secara umum Abalon tropis hampir memijah sepanjang tahun
kecuali pada bulan Mei – Juni yang merupakan masa istirahat.
Pada musim-musimdimana suhu air rendah maka periode pemijahan akan menurun dan
kondisitersebut umumnya terjadi antara bulan April – Juni (Capinpin,
Encena danBayona, 1998). Musim pemijahan abalon di Korea menurut RAS (1990)
mulai bulan Juli/Agustus ketika air laut sekitar 20 °C dan pada beberapa
kasus hinggaakhir September dan Oktober.
Ø Pemijahan
Kerang dan siput laut biasanya melepaskan sperma dan telur ke air pada
malam hari.Pembuahan atau fertilisasi terjadi di luar tubuh atau di kolom
air.Kebiasaan memijah pada malam hari dan pada saat air laut pasang, ada
kaitannya dengan naluri keamanan, yaitu untuk menghindarkan telur dari ancaman
predator, dan upaya penyebaran zygotes secara luas melalui arus air
pasang.(Hickman, 1992). Sebagai contoh penurunan suhu air diperlukan untuk
memulai proses perkembangan gamet (gametogenesis) pada chiton (Chaterinatunicata)
dan kemudian peningkatan kembali suhu air diperlukan untuk proses pematangan
gonad (telur dan sperma), sedangkan pemijahan (pelepasan telur dan sperma)
terjadi pada saat kondisi fitoplankton di suatu perairan berlimpah.
Untuk
mendapatkan telur harus melalui proses pemijahan yang dapat berlangsung secara
alami maupun buatan. Secara alami, abalon yang telah matang gonad akan
melakukan pemijahan karena rangsangan perubahan suhu secara tiba-tiba oleh
kondisi pasang-surut. Pengamatan di laboratorium menunjukkan bahwa abalon dari
hasil tangkapan di alam melakukan pemijahan alami di bak bertepatan dengan
phase bulan muda dan purnama selama 2 bulan pertama dengan interval pemijahan
berikutnya terjadi kira-kira 2 minggu (Capinpin and Hosoya, 1995) dalam Soleh dan Suwyono (2008). Pada T.niloticus
pemijahan terjadi terutama pada fase bulan baru (Hahn, 1993).Beberapa
faktor dapat berpengaruh dalam pemijahan abalon yaitu ukuran induk, kematangan
gonad dan musim.Induk betina umumnya berumur muda dan induk jantan berumur
lebih tua. Secara umum abalon tropis hampir memijah sepanjang tahun kecuali
pada bulan Mei - Juni yang merupakan masa istirahat (Capinpin et.al.,1998) dalam Soleh dan Suwyono (2008). Pada
musim-musim dimana suhu air rendah maka periode pemijahan akan menurun dan
kondisi tersebut umumnya terjadi antara bulan April – Juni (Singhagraiwan and
Doi, 1992). Terkait dengan hal tersebut maka suhu nampaknya menjadi faktor
paling penting yang mempengaruhi reproduksi moluska pada umum nya (Newman,
1967).Sebagian dari aksinya untuk rangsangan memijah dan perubahan suhu dapat
juga sebagai bagian penting dalam maturasi (Uki and Kikuchi, 1984; Hahn, 1994) dalam Soleh dan Suwyono (2008).
Pemijahan abalon secara buatan telah dilakukan
dengan cara merangsang abalon dengan metode kejutan suhu. Menurut Kotke et aldalam Anonim (1995) menggunakan
kejutan suhu untuk merangsang pemijahan induk abalon. Hal ini dilakukan dengan
cara pertama-tama mengangin-anginkan abalon di udara luar selama 30-60 menit,
kemdian menaruh dalam kantong (sendiri-sendri atau berpasangan dalam satu jenis
kelami) da kemudian merendamnya dalam wadah pemijahan. Suhu air dalam pemijahan
sebaiknya 4oC di atas suhu air saat pemeliharaan (18oC).Abalon
mulai memijah antara 5-24 jam kemudian. Perubahan suhu air ini merupakan su
trigger yang diterima oleh indra perasa melalui syaraf tepi, kemudian
diinformasikan ke pusat syaraf atau hipotalamus. Selanjutnya hipotalamus
melepas hormone pelepas hormone gonadotropin (Gn-Rh-= Gonadotropin Releesing
Hormon) dan menjadi target dari hormone ini adalah hipofisa. Terlepasnya
hipofisa Gn-RH maka hipofisa diperintahkan untuk melepaskan hormone
gonadotropin yaitu hormone yang menunjang aktifitas gonad sebagai organ sasaran
dari hromon gonadotropin ini adalah alat kelamin (gonad) baik gonad jantan
maupun gond betina (Rudiana, dkk., 2005).
Pendekatan nutrisi dan reproduksi secara buatan
belum menghasilkan kualitas benih abalon yang baik. Oleh karena itu, para ahli
mengtakan bahwa dengan pendekatan genetik akan membantu dalam meningkatkan
kualitas benih melalu kawin silang kemudian dibantu dengan menajemen pemberian
pakan yang bernai gizi tinggi dan pengelolaan kualitas air yang baik (Hayashi,
1982 Fallu, 1991) dalam Rudiana,
dkk., (2005).
Pada
abalon Haliotis discus hannai yang telah matang gonad, fekunditas telur
per 100 gram gonad jumlah telur yang dipijahkan sekitar 1,5 juta butir (RAS,
1990). Pada abalon tokobushi, fekunditas telur per ekor antara 48.000 – 290.000
butir, tingkat pembuahannya sekitar 90 % dan daya tetas > 80 % (Sofyan,
2006). Abalon H. varia betina yang memijah menghasilkan telur rata-rata
76.530 butir telur (Najmudeen dan Vector, 2003) dengan maksimum 215.200 butir
pada panjang cangkang 48,23 mm. H. diversicolor supertexta berukuran 60-75
mm dapat bertelur hanya 130.000-200.000 butir (Chen, 1989) dan H. coccinea
canariensis ukuran 49 mm, bertelur sekitar 70.000 butir (Pena, 1986) dalam Soleh dan Suwyono (2008).
Telur
terbuahi dalam 1 jam periode pemijahan. Telur yang terbuahi berdiameter 180 μm
dan berbentuk spherical.Telur-telur segera menyerap air dan tenggelam ke
dasar.Ekses sperma dapat mengganggu keberhasilan penetasan.Rata-rata tingkat
pembuahan adalah 50 % (Najmudeen dan Vector, 2003). Telur H. varia yang
terbuahi lebih kecil (180 μm) dibandingkan H. iris (230 μm; Harrison and
Grant, 1971) dan H. midae (222 μm, Genade et.al., 1988 dalam Soleh dan Suwyono (2008). Sofyan
(2006), menyatakan bahwa telur abalon tokobushi yang dikeluarkan akan mengendap
di dasar, berwarna putih keabu-abuan, setelah menetas melayang. Hingga mencapai
trochophore butuh waktu 5-6 jam (sama dengan asinina). Pelepasan telur abalon asinina
sering di lapisan permukaan air, bilamana tidak diberi penutup.Sedang untuk
tokobushi (Sulculus supertexta), pengeluaran telur selalu terjadi dalam
badan air (Sofyan, 2006) dalam Soleh
dan Suwyono (2008).
Ø Pemanenan
Telur
Pembuahan
telur terjadi secara alami pada saat induk jantan dan betina memijah bersama
dalam satu wadah. Telur yang terbuahi akan cepat mengendap di dasar wadah
dibanding telur yang tidak terbuahi atau abnormal (di lapisan atas) Soleh dan
Suwyono (2008).
Proses pembuahan abalon
terjadi di luar tubuh (external fertilization). Betina dan jantan yang
berdekatan akan mengeluarkan telur dan sperma kemudian bercampur di dalam air.
Telur abalon tidak mengapung tetapi tenggelam, namun karena ukuran dan masa
jenisnya sangat kecil dan tidak berbeda jauh dengan masa jenis air menyebabkan
telur-telur ini terangkat ke kolom air oleh gerakan air. Selama 4 jam telur
akan mengapung di permukaan selanjutnya memasuki kolom air dan melayang
mengikuti arus (Fallu, 1991).
Telur yang menetas menjadi larva terus
berubah bentuk menjadi larva trocophore dan stadia veliger.Setelah satu
minggu, larva tenggelam untuk menempati subtrat (tempat menempel). Pada stadia
ini abalon disebut stadia spat dengan ukuran 5 mm (Fallu, 1991). Larva abalon
membutuhkan stimulan yang sangat spesifik untuk melangsungkan proses
metamorfosis dan menetap menjadi larva bentik. Apabila larva tidak menemukan
tempat menetap, ia akan bertahan sebagai plankton hingga 3 minggu dalam kondisi
lingkungan yang optimal. Walaupun demikian, kurang dari 1% yang akan berhasil
menyelesaikan metamorfosis dan tumbuh menjadi abalon dewasa (Searcy-Bernal et
al.,1992dalam Feisal, 2006)
Rearing
plate merupakanmedia penempelan
pakan alami dan larva abalon yang terbuat dari vinil gelombang berbentuk
persegi panjang berukuran 50x40 cm2. Enam lembar vinil gelombang disatukan
dengan batang aluminium berdiameter 0,5 cm dan panjang 20 cm. Antar lembar
dipisahkan dengan potongan pipa paralon sepanjang 3-4 cm. Dengan demikian,
padat tebar pakan alami maupun larva abalon dapat ditingkatkan.
Ø Pemeliharaan larva
Stadia larva merupakan stadia paling
kritis terkait dengan ketersediaan pakan alaminya.
Sebelum
larva abalon ditebar ke bak pemeliharaan larva, pakan alami sudah harus menempel di plate dan bak.Setyono (2004), menyatakan bahwa
pertumbuhan juvenil abalon dapat dipercepat dengan kondisi pemeliharaan yang
bagus termasuk pakan yang sesuai dan melimpah.Oleh karena itu, pakan alami
sudah harus ditebar dua minggu sebelumnya.Indikator bahwa pakan alami telah
menempel adalah warna coklat pada plate dan dinding-dinding bak.
Telur yang dilepaskan ke kolom air dan dibuahi akan berkembang menjadi
embrio dan menetas sebagai larva trochopore. Larva trochopore berenang
di kolom air mengunakan rambut getar (velum) atau dengan selaput renang
(pedi-veliger).Selaput renang ini kemudian berkembang dan berfungsi
sebagai kaki (bysus dan foot) pada saat larva bermetamorfosis dan
menempel pada substrat.Keberhasilan telur yang telah dibuahi untuk berkembang
menjadi embrio, menetas menjadi larva, dan bermetamorfosis menjadi anakan
banyak dipengaruhi oleh kualitas air dan ketersediaan pakan (mikro-alga) pada
stadia awal (larvae).
Larva abalon
tidak makan (lesitotrofik) dan tidak memiliki alat pencernaan.Manahan (1992)
mengemukakan bahwa larva abalon dapat memanfaatkan karbon organik yang secara
alami terlarut dalam air laut sebagai sumber energi.Larva abalon yang baru
menetas bersifat planktonik dan disebut larva trokofor (trocophore),
pada perkembangan selanjutnya larva yang sudah mulai memiliki cangkang dan
memiliki velum disebut larva veliger. Setelah memiliki statosis (statocyst)
atau alat keseimbangan, larva abalonakan mencari tempat untuk menetap dan
memulai kehidupannya sebagai organisme bentik yang kemudian akan berkembang
menjadi juwana (juvenile). Larva bentik ini sudah mulai menggerus alga
pada batu-batu karang sebagai makanannya. Larva abalon membutuhkan stimulan
yang sangat spesifik untuk melangsungkan proses metamorfosis dan menetap
menjadi larva bentik. Apabila larva tidak menemukan tempat menetap, ia akan
bertahan sebagai plankton hingga 3 minggu dalam kondisi lingkungan yang optimal
(Morse, 1984 dalam Searcy-Bernal et al, 1992).
Ketersediaan makanan bagi abalon yang baru memasuki
masa post larvae adalah penting, karena hal ini berkaitan dengan
kelangsungan hidupnya (Takami et. at., 2000 dalam Octaviany,
2007). Laju pertumbuhan pada fase hidup awal abalon bergantung pada
ketersediaan makanan dan kemampuan masing - masing individu dalam memanfaatkan
makanan yang tersedia (Rusdi, dkk., 2010).
Pada stadia larva, abalon sangat menyukai bentik diatom
sebagai mekanannya sedangkan abalon yang sudah mencapai ukuran yang lebih besar
memakan makanan dari jenis rumput laut. Abalon biasanya dipelihara dengan
pemberian makanan berupa rumput laut segar dari jenis Glacilaria spp dengan disis yang berlebih (adlibitum) dan cara pemberian pakannya dilakukan dengan interval
satu minggu Anonim, (2000) dalam
Susanto (2009) sedangkan metode pembesaran abalon yang dilakukan secar
terkontrol diberi pakan berupa pellet dan seminggu sekali diberi pakan rumput
laut Susanto, (2006), dalam Susanto
(2009). Rumput laut merupakan mikro-alga yang mempunyai nilai kandungan EPA da
DHA yang cukup tinggi dan dibutuhkan untuk pertumbuhan manusia maupun hewan dan
biak juga untuk pertumbuhan abalon Hidayat, 1995 dalam Amini dan Hastarini, 2003 dalam Susanto, dkk., (2009).
Setyono (2003)
menambahkan bahwa fase juvenil dibagi menjadi dua, yaitu fase juvenil awal dan
juvenil.Fase juvenil awal dimulai pada saat terjadinya penempelan sampai abalon
memiliki cangkang sepanjang 10 mm. Selanjutnya, fase juvenil dimulai dari
ukuran ini, yaitu ketika abalon mulai makan makro alga. Abalon umur 1,5 bulan
sudah mulai diberi pakan rumput laut berukuran halus. Hal ini disebabkan pada
fase ini ukuran mulutnya kira-kira mencapai 1/5 dari panjang tubuhnya dan
insang sudah terbentuk sehingga peredaran darahnya sudah berfungsi.Namun,
hingga saat ini belum diketahui kecepatan tumbuhnya, baik di habitat alaminya
maupun dalam wadah budidaya (Feisal, 2005).
Abalon
dapat beraktivitas secara normal pada suhu dan salinitas normal yaitu antara
28-34 0C dan salinitas 29-37 ‰. Abalon akan mengalami stres dan berakhir dengan
kematian karena kenaikan atau penurunan suhu dan salinitas yang tajam (Fallu,
1991). Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan menggunakan sistem flowtrough
pada wadah pemeliharaan sehingga air selalu terganti. Sirkulasi air juga
menyebabkan kualitas air lebih bagus serta mencegah timbulnya penyakit karena
air selalu berganti (Fallu,1991).
Kualitas
air yang masuk ke dalam bak pemeliharaan larva abalon dijaga dengan menyaring
air yang masuk melalui saluran inlet menggunakan cartridge filter dengan
serat polipropilen mesh size 1 μm yang selalu diganti setiap pagi dan
sore. Untuk mencukupi kebutuhan oksigen, di tiap bak pemeliharaan larva
dipasang 4 titik aerasi yang dipasang secara merata.namun demikian, teknik ini
masih kurang karena air dari laut yang masuk ke tandon utama tidak difilter.
Akibatnya, banyak ditemukan biota-biota kecil baik di air maupun menempel di
tubuh dan cangkang abalon karena tidak tersaring oleh cartridge filter.
Dikhawatirkan, hal ini akan menjadi agen pembawa (carier) penyakit dan
mengganggu pertumbuhan abalon.
Abalon akan tumbuh
lebih baik pada tempat yang terdapat lebih banyak shelter (Setyono,
2003). Umumnya, konsentrasi oksigen terlarut dalam kegiatan budidaya ≥ 5 ppm.
Pada wadah pendederan dan pemeliharaan induk, shelter dibuat dari
potongan pipa PVC berdiameter 6 inci dengan panjang 30 cm yang dibelah menjadi
dua, dan ditempatkan di dalam kotak industri masing-masing 1 potong per kotak
industri (3 potong dalam 1 bak). Abalon akan bersembunyi di balik shelter sepanjang
hari dan akan merayap keluar pada malam hari. Sedangkan pada pemeliharaan larva
digunakan rearing plate.
Ø Kultur
pakan alami
Larva abalon bersifat
menempel di dinding bak dan plate, oleh karena itu pakan alami yang
digunakan sebagai pakan awal larva adalah yang juga memiliki sifat menempel.Pada
umumnya digunakan pakan alami berupa Nitzschia, Amphora dan Navicula yang
dikultur secara bertingkat dari skala laboratorium sampai semi massal.
Gambar 33.Pakan alami untuk larva
abalon
Kultur murni merupakan rangkaian dari
kegiatan pengadaan pakan alami/kultur plankton.
Bibit kultur murni diperoleh dari hasil isolasi atau dari hasil kultur
dalam media agar. Plankton hasil
biakan/kultur dalam media agar, dipindahkan dalam tabung reaksi volume 10-15
ml, kemudian dikultur secara bertingkat ke dalam erleumeyer 100ml, 500ml,
1000ml, 2000ml dan volume 5-20liter.
Kultur massal diatom dapat dilakukan setelah Setelah empat-lima hari
masa pemeliharaan skala laboratorium (Tisna, 2008).Kultur
mikroalga untukmemenuhi kebutuhan makan abalon pada stadia larva.Dimana
organisme pada faselarva belum dapat mengkonsumsi makanan dalam bentuk makro,
baik itu pakanalami maupun pakan buatan.Hal selain karena pakan tersebut belum
sesuai denganbukaan mulutnya, pada fase ini organisme belum memiliki sistem
pencernaan yanglengkap sehingga baru bisa mengkonsumsi pakan mikro.
Mikroalga merupakansumber energi utama bagi larva
organisme herbivora secara langsung, dan secara taklangsung bagi organisme
karnivora.Untuk memenuhi kebutuhan pakan alami abalon pada stadia larva
makadilakukan budidaya pakan alami dalam hal ini adalah kultur
mikroalga.Keberhasilan dalam mengkultur mikroalga tergantung dari cara
mengisolasi sampeldan penanganan pada saat kultur.
Isolasi pakan alami dapat dilakukan
dengan cara: (1) Metode Isolasi secara Biologis, dengan menggunakan pengaruh
sifat phototaksis organisme yang akan diisolasi; (2) Metode Isolasi Pengenceran
Berseri, digunakan bila jumlah jenis organisme banyak dan ada spesies dominan,
memindahkan sampel ke dalam beberapa tabung reaksi yang dikondisikan untuk
pertumbuhan yang akan diisolasi; (3) Metode Isolasi pengulangan Sub Kultur,
hampir sama dengan Metode Isolasi Pengenceran Berseri, tapi jumlah dan jenis
organisme yang terkumpul sedikit; (4) Metode Isolasi Pipet Kapiler, dimana
sampel 10-15 tetes diteteskan di tengah cawan petri, dan sekelilingnya ditetesi
6-8 tetes medium; dan (5) Metode Isolasi Goresan, untuk mengisolasi
phytoplankton tunggal dengan menggunakan media agar (Maswira, 2007).
Teknik yang dilakukan dalam isolasi Navicula sp. adalah
metode pipet danmetode tuang. (1) Metode Tuang.Pada metode tuang, perlu untuk
dilakukan isolasi awal untuk memperolehspesies plankton yang diinginkan.Pada
tahap ini, kita menggunakan sampel air yangdiduga berisi Navicula.sp dan
memasukkannya ke dalam wadah yang telahdipersiapkan. Setelah itu melakukan
inkubasi untuk melihat pertumbuhan dariNavicula sp. tersebut.Pemberian
aerasi diperlukan untuk pengadukan danpenambahan oksigen di dalam
wadah.Pertumbuhan dapat dilihat dengan peubahanwarna yang terjadi pada dinding
wadah yang digunakan. Pada metode yangdigunakan ini, keunggulannya adalah
tingkat ketelitian yang tinggi tidak diperlukansehingga dapat menghemat tenaga
sedangkan kelemahan dari metode ini adalahwaktu yang digunakan untuk mendpatkan
kultur murni akan lama, (2) Metode Pipet.Metode pipet digunakan untuk
mendapatkan isolasi awal dengan caramengamati di bawah mikroskop pada air yang
diduga mengandung Navicula sp.kemudian mengambil spesies tersebut dengan
cara memipet dengan miro pipet. Hasilyang diperoleh kemudian dimasukkan ke
dalam wadah yang telah dipersiapkansebelumnya. Pemberian cahaya, pengaturan
suhu dan pemberian aerasi perludiperhatikan dalam kultur ini untuk menjaga
pertumbuhannya. Pertumbuhan pada jenis ini dapat ditandai dengan perubahan
warna pada dinding wadah yangdigunakan. Pada metode ini, tingkat ketelitian
diperlukan untuk mengamati spesiesyang akan ditumbuhkan sehingga sangat memakan
waktu dan tenaga untukmelakukan pengamatan.
Di
dalam proses kultur mikroalga yang terpenting adalah melakukan seleksi
spesies-spesies yang akan dijadikan kultivan untuk kepentingan budidaya
perikanan secara luas dan tujuan-tujuan khusus lainnya yang bahan bakunya
diambil dari sel alga. Biasanya untuk
seleksi spesies calon kultivan, berdasarkan kepada ukuran sel, nilai nutrisi,
dan kemudahan teknik kultur pada kondisi dan iklim dimana mereka
digunakan. Banyak jenis mikroalga yang
digunakan untuk kepentingan budidaya perikanan, akan tetapi beberapa spesies alga
yang popular dan dominan digunakan adalah; Nannochloropsis oculata (2-4
μm), Isochrysis galbana (5-7 μm), Tetraselmis chuii (7-10μm), Chaetocerosgracilis
(6-8 μm), Dunaliellatertiolecta (7-9 μm), dan beberapa spesies dari Chlorella
sp (3-9 μm).Odum (1996) menyatakan bahwa yang termasuk genera diatom
yangmerupakan produsen utama fitoplankton di laut adalah: Nitzchia
closterium,Planktoniella, Nitzchia seriata, Coscinodiscus, fragilaria,
Chaetoceros,Thalassiosira, Asteriorella, Biduuulphia, Ditylum, Thalassiothrix,
Navicula,Rhzosolenia semispira.
Bentik
diatom
Diatom adalah
mikroalga uniseluler fotosintetik yang memiliki dinding khas terbuat dari
silika.Pola, ukuran, dan ornamentasi dinding sel yang khas menjadi ciri
taksonomi jenis-jenis diatom.Diatom memiliki klorofil a, c, alfa, dan
betakaroten, serta xantofil (fucoxantin, diadinoxantin, dan diatoxantin)
sehingga warnanya menjadi coklat keemasan.Diatom juga dibagi menjadi dua
bentuk, yaitu dapat berupa centric diatom maupun pennate
diatom.Centric diatom berbentuk simetri radial dan reproduksinya secara oogamy,
sedangkan pennate diatom berbentuk kurang lebih simetri bilateral
dan bereproduksi secara isogamy.Pembagian diatom atas bentuk dan tipe
reproduksi ini juga menjadi ciri taksonomi diatom.Lebih dari 250 genera dengan
kurang lebih 100.000 spesies diatom telah ditemukan.Diatom bisa hidup di air
laut, air tawar, batu karang, maupun di tanah yang lembab (Armanda, 2013).
Genera diatom
yangmerupakan produsen utama fitoplankton di laut adalah: Nitzchia closterium,Planktoniella,
Nitzchia seriata, Coscinodiscus, fragilaria, Chaetoceros,Thalassiosira,
Asteriorella, Biduuulphia, Ditylum, Thalassiothrix, Navicula,Rhzosolenia
semispira.Ada dua macam cara hidup diatom, yaitu sebagai bentik dan
planktonik.Sebagai bentik dapat hidup di atas substrat seperti batu, pasir atau
lumpur, ataudapat juga sebagai epifit pada tumbuhan hidup (misalnya perifiton
atau epizoikpada hewan.Di hatcheryabalon, diatom seperti Navicula
sp, Cocconeis sp, dan Nitschia sp merupakanpakan untuk
fase creeping larva abalon (Efenddy, 2000).
Bentik diatom
merupakan makanan bagi larva abalon hingga panjang cangkang abalon mencapai 5
mm. Setelah itu, mereka akan berpindah pada pakan makroalga. Selama fase
perkembangan larva, abalon menggunakan bentik diatom sebagai nutrisi untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya.Masing-masing bentik diatom memiliki suhu
dan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masing-masing spesiesnya
(Parker, et al 2007).
Bentik
diatom tersebut merupakan pakan alami yang biasa dikonsumsi larva abalon.
Selain karena sesuai dengan ukuran bukaan mulutnya, bentik diatom tersebut juga
memiliki kandungan gizi yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh larva abalon
untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya, Hal ini sesuai dengan pernyataan
Parker et al, (2007) bahwa bentik diatom tersebut memiliki jumlah protein,
karbohidrat dan lemak yang tinggi yang sangat dibutuhkan larva abalon untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Dimana, diantara jenis bentik diatom
tersebut, yang memiliki kandungan protein yang paling tinggi adalah Naviculasp.
Lamun
Karena
sifatnya yang menempel, bentik diatom dapat ditemukan pada ekosistem lamun,
karang, pasir, dan batuan di perairan. Namun biasanya pada kegiatan kulturbentik
diatom untuk skala laboratorium bersumber diambil dari lamun. Padang lamun
(seagrass bed) merupakan tumbuhan berbunga, berbuah, berdaun dan berakar sejati
yang tumbuh pada substrat berlumpur, berpasir sampai berbatu yang hidup
terendam di dalam air laut dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang
baik.Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule)
yang dihasilkan secara seksual.Lamun memiliki perbedaan yang nyata dengan
tumbuhan yang hidup terbenam dalam laut lainnya, seperti makro alga atau rumput
laut (seaweeds).Tanaman lamun memiliki bunga dan buah yang kemudian
berkembang menjadi benih.Pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor internal seperti kondisi fisiologis dan metabolisme; serta faktor
eksternal, seperti zat-zat hara dan tingkat kesuburan perairan (Mann, 2000).
Lamun tumbuh subur
terutama di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai atau goba yang
dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati, dengan
kedalaman 4 meter.Pa dang lamun terbentuk di dasar laut yang masih ditembusi
cahaya matahari yang cukup untuk pertumbuhannya.Di seluruh dunia diperkirakan
terdapat sebanyak 55 jenis lamun, dimana di Indonesia ditemukan sekitar 12
jenis dominan.Hampir semua substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat
berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan
disubstrat lumpur-berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu
karang.
Ekosistem padang lamun
berfungsi sebagai penyuplai energi, baik pada zona bentik maupun pelagis.
Detritus daun lamun yang tua didekomposisi oleh sekumpulan jasad bentik
(seperti teripang, kerang, kepiting, dan bakteri), sehingga dihasilkan bahan
organik, baik yang tersuspensi maupun yang terlarut dalam bentuk
nutrien.Nutrien tersebut tidak hanya bermanfaat bagi tumbuhan lamun, tetapi
juga bermanfaat untuk pertumbuhan fitoplankton dan selanjutnya zooplankton, dan
juvenil ikan/udang (Dahuri, 2003).
Ø Menghitung kepadatan bentik diatom
Nutrien atau pakan merupakan faktor
yang sangat utama yang menunjang kelangsungan hidup, pertumbuhan maupun
perkembangan gonad abalon. Untuk
menghasilkan abalon yang memiliki pertumbuhan yang baik, memerlukan suplai
pakan yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dari abalon tersebut.
Pengontrolan pada saat
melakukan isolasi pakan alami harus diperhatikan untuk menunjang pertumbuhan
mikroalga pada media isolasi. Pemupukan, pemberian aerasi, dan pemberian cahaya
adalah faktor penting yang akan mempengaruhi keberhasilan isolasi pakan alami
tersebut
Pertumbuhan mikroalga dapat dicirikan dalam 5 fase
yaitu :
1.
Fase induksi/fase istirahat
2.
Fase eksponensial
3.
Fase penurunan laju pertumbuhan
4.
Fase stationer
5. Fase kematian
Kepadatan jenis diatom yang
dihitung pada setiap kultur menggunakan rumus (Wickstead, 1965 dalam Wardhana, 2006).
x
|
f
|
1
|
D
|
=
|
1
|
v
|
q
|
x
|
Dimana : D
= Jumlah individu per satuan volume/luas
q =
Jumlah individu dalam sub sample
f =
Fraksi yang diambil (vol. subsample per
vol. sampel)
v =
volume/ luasan awal
Ø Pakan Buatan
Pakan buatan untuk budidaya abalon telah diberikan
di negara-negara seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Australia.Percobaan pakan
di Taiwan menunjukkan bahwa pertumbuhan abalon menggunakan pakan buatan adalah
65% lebih besar daripada abalon yang diberi pakan makroalga.Abalon yang diberi
pakan buatan memiliki berat badan yang lebih tinggi, panjang cangkang dan
kandungan protein yang relatif tinggi dalam daging abalon dibandingkan dengan
abalon yang diberi pakan rumput laut.Pertumbuhan abalon umumnya memiliki
tingkat pertumbuhan yang lambat dan heterogen, nutrisi yang tepat harus
disediakan untuk membuat sebuah budidaya yang sukses. (Kuncoro dkk., 2013).
Prasyarat kestabilan pakan untuk abalon antara lain
tidak mudah larut, tidak mudah hancur, dan tidak mudah membusuk. Pakan yang
mudah larut dan atau hancur akan mudah terbawa aliran air sehingga tidak dapat
dikonsumsi oleh abalon, sementara pakan yang mudah membusuk akan menurunkan
kualitas pakan. ldealnya, pakan tidak
keras tetapi tetap utuh dalam jangka waktu dua puluh empat jam dan kemudian
mulai hancurterurai. Dengan demikian hewan masih berkesempatan untuk mengkonsumsi
sebelum pakan mulai terdegradasi (Setyono, 2010).
Pakan buatan lebih dipilih untuk digunakan dalam
operasi budidaya karena biaya yang lebih rendah, mudah disimpan dan kontaminasi
bakteri berkurang dibanding pakan alami
atau atau pakan yang dibekukan (Tlusty et
al., 2005).
Ø Photoperiod
Salah satu metode yang dapat memberikan pengaruh terhadap
waktu pemijahan adalah dengan metode pencahayaan (photoperiod).Pencahayaan
(photoperiode) memberikan pengaruh terhadap waktu kematangan gonad dari induk
abalon, sehingga sifatnya yang nokturnal sangat berhubungan dengan waktu untuk
melakukan proses pemijahan pada malam hari (Caunihan et al., 2001).
Lundelius & Freeman
(1986) dalam Setyono (2004) menyatakan bahwa sinyal panjang hari terang
diterima oleh sebuah reseptor cahaya yang terdapat pada ganglion otak.Sinyal
tersebut selanjutnya mengaktifkan sel neurosekresi dalam ganglion otak untuk
melepaskan hormon yang menstimulasi perkembangan organ reproduksi.
Photoperiode berfungsi
sebagai modulator respon terhadap temperatur. Temperatur adalah salah satu
faktor kunci dalam pembentukan proses fisiologi semua organisme. Pengaruhnya
pada bagian seluler adalah dengan meningkatkan atau menurunkan aktivitas
katalisis dari metabolik dan enzim pencernaan.Hal ini juga berhubungan secara
langsung dengan laju pertumbuhan dan fungsi-fungsi tubuh lainnya yang berkaitan
dengan energi metabolisme (pernapasan, konsumsi pakan, eksresi, dll) dari
invertebrata (Ezquivel et al., 2007).
Laju konsumsi pakan dan
pertumbuhan juvenil H. discus hannai (panjang cangkang 30 mm) meningkat
20% dan 160% ketika dipelihara dalam kondisi gelap total dibandingkan dalam
kondisi terang dan dampak yang sama juga terjadi pada H. discus dan H.
sieboldi. Untuk H. rufescens (panjang cangkang 40 mm) laju konsumsi
pakan dan pertumbuhan meningkat 24% sampai 26% ketika dipelihara dalam kondisi
gelap. Hal yang sama juga ditemukan pada H. iris (Searcy-Bernal and Gorrostieta-Hurtado,
2007).
Setyono (2005)
menyatakan bahwa beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa photoperiode
memainkan peranan penting pada regulasi siklus reproduksi pada beberapa gastropoda.
Setyono (2005) menyatakan bahwa suatu signal photoperiode diterima oleh photoreceptor
yang berlokasi di ganglia otak. Signal tersebut kemudian mendorong
aktivitas sel-sel neurosecretory dalam ganglia otak untuk melepaskan
hormon yang menstimulasi perkembangan organ reproduksi.
Cauihan et al., (2001) bahwa pencahayaan
(photoperiode) memberikan pengaruh terhadap waktu kematangan gonad dari induk
abalon, sehingga sifatnya yang nokturnal sangat berhubungan dengan waktu untuk
melakukan proses pemijahan pada malam hari. Proses pemijahan abalon dipengaruhi
oleh faktor alam di luar tubuh abalon (eksogen) dan faktor di dalam tubuh
abalon(endogen). Faktor alam yang mempengaruhi pemijahan antara lain
adalah perubahan temperatur air laut, kontak dengan udara selama air laut surut
rendah, perubahan periode penyinaran (photoperiod), siklus bulan, garnet
yang dilepaskan oleh individu lain dan kombinasi dari faktor-faktor tersebut.
Adapula faktor dari dalam tubuh yang mempengaruhi pemijahan yaitu prostaglandins
(PGs) dan beberapa amino yang dihasilkan oleh sel-sel saraf yang diduga
sangat berperan penting pada proses pemijahan abalon (Setyono, 2004b).
Pada
beberapa tempat di dunia, pengontrolan cahaya digunakan pada pengkondisian
abalon.Pada umumnya abalon dipelihara pada ruangan tertutup dengan sumber
cahaya dari lampu. Di Jepang, abalon dikondisikan dengan panjang hari konstan
sampai empat bulan. Oktarina (2006) dari penelitiannya menyimpulkan fotoperiod
dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan dan pertumbuhan abalon dari spesies H.asinina.Abalon
dengan perlakuan gelap 24 jam memiliki tingkat pertumbuhan lebih baik jika
dibandingkan dengan 12 jam gelap:12 jam terang serta 24 jam terang. Di Amerika
Serikat, Haliotis rufescens paling baik berada dalam kondisi gelap total
tanpa adanya periode terang sama sekali (Fallu, 1991).
D.
Sarana
Budidaya
Saat ini, permintaan
daging dan cangkang abalon yang meningkat mengakibatkan terjadinya over
eksploitasi populasi abalon di alam.
Salah satu cara untuk menghindari hal ini adalah dengan melakukan
produksi abalon di hatchery dan melakukan budidaya abalon sehingga sangat layak
untuk dikembangkan. Teknologi produksi perlu dipersiapkan untuk memproduksi
biomasa abalon. Hal ini berkaitan dengan reproduksi abalon untuk menghasilkan
benih abalon. Karena itulah ilmu dan teknologi mengenai pengembangbiakan abalon
dan fasilitasinya sangat diperlukan (Sarida, 2008).
Di
duniaabalon dibudidayakan dengan berbagai sistem budidaya.Seperti budidaya
hatchery, KJA (Keramba Jaring Apung), KJT (Keramba Jaring Tancap), dan IMTA
(Integrated Multi Tropical Aquaculture).
1.
Budidaya
Hatchery
Kegiatan budidaya tidak
lepas dari usaha penyedian benih untuk menyuplai ketersedian stock benih
selama budidaya. Hatchery dalam
konteks yang luas meliputi fasilitas fisik, induk, prosedur pembesaran larva,
budidaya pakan alami, disposal produk (telah dibahas pada bab sebelumnya).
Hatchery berasosiasi dengan ”artificial propagation” atau perkembangbiakan
buatan atau produksi bibit, proses untuk memperoleh organisme yang muda dari
induk yang dipelihara. Hatchery
merupakan tempat untuk menetasnya telur. Namun, terdapat perbedaan antara
hatchery dengan tempat pemeliharaan(nursery operation).
Hatchery dan program rekayasa adalah format dalam akuakultur yang
melibatkan suatu derajat tingkat manipulasi populasi organisme alaminya terhadap
beberapa metode budidaya. Selanjutnya untuk dapat melakukan kegiatan budidaya
organisme akuatik yang efisien maka kita harus mengetahui kriteria organisme
tersebut terlebih dahulu.Suatu tantangan dalam kegiatan budidaya adalah
bagaimana menghasilkan produk perikanan yang baik dan berkualitas. Hal ini
tentu tidak lepas dari manajemen hatchery yang tepat. Salah satu aspek penting
yang diperhatikan dalam kegiatan pembenihan organisme air yaitu kualitas air
yang pada area budidaya dapat dimanipulasi seperti halnya kualitas air
habitatnya di alam.
Salah satu usaha penerapan teknologi yang dapat dilakukan
untuk mengefesiensikan waktu pembenihan adalah melakukan pemijahan buatan pada
abalon dewasa.Berbagai metode
budidaya berusaha dilakukan dalam pengembangan teknologi budidaya abalon.Akan
tetapi keberhasilan dan keberlanjutan suatu budidaya sangat tergantung pada
ketersediaan benih, baik benih dari alam maupun dari hatcheri. Produksi benih
abalon di hatcheri membutuhkan waktu yang cukup lama. Salah satu penyebab hal ini dapat terjadi
karena abalon memijah pada musim-musim tertentu.
Ø Desain Hatchery
Pertimbangan
yang mendasari pembuatan hatchery adalah sebagai berikut : (1) lokasi yang
cocok, (2) kawasan lokasi dan fasilitas yang diperlukan dalam kaitannya dengan
tujuan dari hatchery, dan (3) bagaimana hatchery yang akan dikelola.
Ini merupakan dasar yang penting untuk melakukan studi kelayakan untuk
menentukan kesesuaian lokasi.abalonyaitu: (1) spesies, (2) target
produksi, dan (3) tingkat pendapatan finansial. Selain itu, fasilitas persyaratan
akan tergantung pada sifat organisasi untuk menjalankan hatchery. Pemerintah untuk
proyek-proyek percontohan, beberapa fasilitas laboratorium dukungan diperlukan. Rancangan pusat penetasan juga akan tergantung pada
tujuannya. Percobaan atau fasilitas produksi
berorientasi sistem untuk tujuan komersial atau kombinasi keduanya dapat
dimasukkan ke dalam rancangan. Ini harus dilakukan
sebelum pembentukan hatchery. Ada tiga faktor
yang harus dipertimbangkan dalam mendesain hatchery
Hatchery
dapat bebas bekerja sama dengan perusahaan yang sepenuhnya menyediakan dalam
hal fasilitas dan tenaga kerja atau sebagai bagian dari sebuah organisasi yang
lebih besar dengan memanfaatkan fasilitas teknisdan pengetahuan.
1.
Kriteria
untuk memilih lokasi untuk hatchery abalon
a. Pasokan air laut
Air laut yang digunakan dalam suatu
hatchery harus bersih, jelas dan relatif bebas dari lumpur. Kualitas air harus baik dengan
sedikit fluktuasi salinitas di sepanjang 11 tahun. Sesuai
lokasi yang biasanya ditemukan di dekat pantai berpasir atau berbatu. Lokasi yang
tidak cocok untuk hatchery mencakup wilayah yang sangat dipengaruhi oleh hujan
atau kerusuhan. Muara
sungai harus dihindari karena tiba-tiba terjadi perubahan salinitas setelah
hujan yang lebat. Salah satu keunggulan produk yang memiliki lokasi di pantai
batu yang baik adalah kualitas air laut yang relatif dekat dengan pantai. Hal ini akan mengurangi biaya pemasangan pipa dan
pemompaan. Pusat lokasi hatchery juga harus bebas dari segala gangguan
misalnya air pertanian atau buangan limbah industri.
m)
Akses
Idealnya,
suatu lokasi hatchery harus dipilih di daerah-daerah di mana terdapat wilayah
ikan aktif beroperasi sehingga larva ikan yang dihasilkan dapat dengan mudah
diangkut dan didistribusikan ke bak grow-out dan tempat pemeliharaan. Lokasi yang dipilih
untuk suatu hatchery harus memiliki akses mudah ke aspek komunikasi dan
transportasi.
n)
Ketersediaan
sumber daya
Hatcheryabalon tidak dapat dioperasikan tanpa listrik. Listrik penting
untuk menyediakan daya yang diperlukan untuk menjalankan peralatan dan lain
kehidupan dukungan sistem pusat penetasan. Oleh karena itu, situs harus
memiliki sumber daya handal.Instalasi dari siaga generator mutlak diperlukan
khususnya di daerah yang sering dan / atau kegagalan panjang dan fluktuasi
daya.
o)
Topografi
Area yang ideal adalah luas, terletak pada daratan yang agak miring
dengan alasan, baik kosong dan tidak rawan banjir, kuat dan gelombang pasang
surut yang teratur . Sangat dianjurkan untuk memperhatikan nilai-nilai awal tanah di lokasi
seleksi tahap untuk memastikan bahwa lokasi itu tersedia untuk pembelian atau
sewa dan harga yang sesuai dengan anggaran proyek. Sejak di atas tanah dengan
karakteristik umumnya juga diminati untuk kegiatan lain, hal ini mungkin
kompetitif untuk alternatif penggunaan lahan.
2.
Ukuran
hatchery
Desain hatchery ditujukan untuk mencapai target
produksi tertentu yang pada gilirannya menentukan ukuran dari hatchery. Kapasitas berdasarkan perkiraan rasio antara tangki untuk
produksi makanan alami (alga dan diatom) dan tangki pemeliharaan larva. Tangki pemijahan
bergantung pada larval persyaratan yang didasarkan pada jumlah spawners.
Berdasarkan
teknik hatchery dan praktek di Indonesia untukproduksi abalon, asumsi yang dibuat dan
digunakan untuk memperkirakan kapasitas tangki adalah sebagai :
a.
Dengan cara manipulasi lingkungan atau dipaksa
bertelur, spesies spawns bulanan untuk enam bulan (seluruh musim bertelur).
b.
Tingkat kelangsungan hidup larva dari hari 1 sampai 50
adalah 15%. 50 hari larva memiliki panjang rata-rata 3 cm.
c.
Produksi rat-rata
dalam 50 hari pemeliharaan larva dalam tangki adalah 5 individu per liter.
d.
Pemeliharaan
larva dalam periode 50 hari.
Satu tangki pemeliharaan larva dapat dimanfaatkan hanya untuk berjalan tiga
dalam satu musim bertelur. Sejak teripang bertelur bulanan,
seharusnya ada dua set larval menternak bak untuk menampung bulanan produksi
larva.
e.
Tangki kapasitas produksi pakan alami adalah sama
seperti yang untuk tangki pemeliharaan larva.
dan kultur tangki diatom adalah 2:1 Proporsi tangki kultur alga
f.
Tangki pemijahaninduk, dan produksi pakan alami dan
pemeliharaan larva berada terpisah di luar hatchery.
3. Bak
penampungan (water receiver tank)
Tangki
ini memegang peranan penting pada hatchery abalon karena digunakan untuk
berbagai keperluan seperti broodstock dan beberapa bertelur, inkubasi,
pemeliharaan larval dan produksi pakan alami agar penyediaan air selalu
berkesinambungan dan suistanaible. Desain
dari berbagai jenis bak dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 1-3.
Tabel 2. Tangki fasilitas dan kapasitas yang digunakan
dalam tempat pemijahan abalon
|
||||||
Tahap
|
Fasilitas
|
Kepadatan
|
Volume diperlukan (ton)
|
Unit vol. (ton)
|
Jmlh unit
|
Ukuran,
bentuk, bahan bangunan
|
Mature
|
Tangki telur
|
abalon 1 / 5 ton
|
200
|
50
|
4
|
tangki persegi
beton 6m × 6m × 1.5m dengan kapasitas air 50 ton & aera-sistem (Gb. 1).
|
Telur (MBG)
|
inkubasi tank
|
100 butir / liter
|
14
|
+1
|
14
|
datar atau bagian bawah berbentuk
kerucut; kapasitas 1000 dan terbuat dari tangki fiberglass (Gb. 2).
|
Larva
|
tangki pemeliharaan larva
|
20-50 larva per liter
|
150
|
15
|
10
|
tangki segi empat beton (1m
× 1.5m × 10m) dari rongga blok semen ringan Aerasi (Gb. 3).
|
Pakan alami
|
Starter tangki
|
+6
|
+1
|
+6
|
tangki
berbentuk bulat, bgiandasar rata 1.000 liter tangki fiberglass
|
|
Phyto-plankton
|
Tangki- kultur alga
|
40
|
10
|
4
|
tangki persegi beton (3 × 3 × 1.2m) dengan Aerasi
|
4.
Persyaratan lantai ruang
Tabel 3.menggambarkan ruang produksi
dari hatchery (Gb. 4) dengan kapasitas 2 juta dengan lama pertumbuhan larva50hari untuk enam
bulan musim operasi.
Gb. 1. Bangunan
tangki penyimpanan benih
Gb. 2. Tangki inkubasi
Gb. 3. Tangki
pemeliharaan larva
Keterangan gambar :
(a)
menunjukkan broodstock and spawning tanks
(b)
menunjukkan tangki rearing larvae
Berikut ini merupakan ukuran detail beberapa gambar-gambar diatas :
Tabel 3. Ruang Persyaratan hatchery
abalon dengan kapasitas produksi dari 2 juta larva selama 50 hari.
|
||
Fasilitas
|
Ukuran
(m)
|
Luas (m2)
|
Staf kantor
|
5 × 4
|
20
|
Ruang kultur alga
|
5 × 4
|
20
|
Laboratorium basah
|
8 × 10
|
80
|
Tangki pemijahan
|
25 × 6
|
150
|
Tangki pemeliharaan larva
|
17 × 10
|
170
|
Kultur Phytoplankton
|
12 × 3
|
36
|
Laboratorium kering
|
5 × 4
|
20
|
5.
Sistem sirkulasi air laut
Air
laut yang dapat diambil langsung dari laut atau dari lubang tangki. Jika sumber air relatif jelas, air dapat
langsung dipompa ke dalam tangki filter overhead dan disimpan dalam waduk atau
tangki penyimpanan. Air ini
kemudian diberikan kepada berbagai kultur bak dikirimmelalui pipa. Namun, apabila air keruh dan berisi konsentrasi zattinggiakan
dibuang, sebelumnya terlebih dahulu akan dipompa ke dalam tangki filter.
Di beberapa daerah di mana sumber
air yang jauh dari pantai dan pada saat air surut dimana banyak air diperlukan
terus menerus, maka lubang air atau tabung dapat di perdalam dan dibangun di
dekat pusat hatchery.
Bah lubang yang terhubung ke sebuah pipa bawah tanah yang terletak terhadap
sumber air.
Air bah terus menerus memasuki lubang melalui pipa bawah tanah bahkan saat air
surut. Air ini kemudian dipompa
langsung dari sumur bah atau tabung baik (Gb. 5). Air
bah dari lubang atau tabung baik biasanya jelas karena air itu secara alami
disaring melalui lapisan pasir sebelum memasuki pipa sehingga dapat digunakan
secara langsung. Namun jika sangat jelas dan air bersih diperlukan, harus
melalui pompa filter tangki sebelum digunakan.
Pompa
spesifikasi harus memutuskan dengan benar sejak dari besarnya tergantung pada
pompa air berdasarkan total kebutuhan per hari danwaktu maksimum memompa. Gambar 6 menunjukkan total
kepala isapan pipa, pembongkaran dan nilai pompa daya kuda. Dengan tanggal tersebut,
pompa spesifikasi diperlukan untuk penetasan fasilitas tersebut dapat
diturunkan.
Gb. 5. Bak
asupan air laut melalui lubang.
b.
KJA
(Keramba Jaring Apung)
Pemilihan lokasi budidaya kerang abalon dengan metode KJA
pada prinsipnya sama dengan pemilihan lokasi pada budidaya ikan kerapu bebek (Cromileptes
altivelis) dengan sistim KJA. Oleh karena itu, budidaya kerang abalon dapat
dilakukan secara bersama dengan ikan kerapu bebek dalam jaring yang berbeda
ataupun terpisah. Adapun persyaratan lokasi adalah sebagai berikut:
Ø Faktor
gangguan alam
1.
Gelombang dan Arus
Gelombang
yang besar akan mengakibatkan goncangan rakit yang cukup kuat, hal ini akan
menyebakan rusaknya konstruksi rakit dan kesulitan dalam bekerja. Selain itu,
kekuatan arus juga sangat menentukan.Arus erat kaitannya dengan sirkulasi air
dalam wadah pemeliharaan/jaring. Arus yang kuat akan dapat mengakibatkan
terlilitnya wadah/jaring. Oleh karena itu, besar gelombang sebaiknya <>
2.
Bukan daerah up-welling
Lokasi ini
terhindar dari proses perputaran air dasar kepermukaan (up-welling).
Pada daerah yang sering terjadi up-welling sangat membahayakan kehidupan
organisme yang dipelihara, dimana air bawah dengan kandungan oksigen yang
sangat rendah serta gas-gas beracun akan kepermukaan yang dapat menimbulkan
kematian secara massal. Lokasi seperti ini sebaiknya dihindari.
3.
Pencemaran:
Kerang abalon
merupakan hewan yang bergerak sangat lambat sehingga jika terjadi pencemaran
baik pencemaran industri, tambak maupun dari limbah masyarakat setempat akan
sulit untuk menghindar, akibatnya akan mengalami kematian secara massal.
4.
Kedalaman perairan:
Kedalaman
perairan sangat berpengaruh terhadap kualitas air pada lokasi tersebut. Lokasi
yang dangkal akan lebih mudah terjadinya pengadukan dasar akibat dari pengaruh
gelombang yang pada akhirnya menimbulkan kekeruhan. Sebagai dasar patokan pada
saat surut terendah sebaiknya kedalaman perairan lebih dari 3m dari dasar
waring/jaring.
5. Faktor kualitas air.
Tabel 3.Parameter kualita air untuk
budidaya kerang abalon (H. asinina).
No
|
Parameter
|
Satuan
|
Nilai
rata-rata
|
1.
|
Salinitas
|
ppt
|
30-33
|
2.
|
Suhu
|
°C
|
29,5-30
|
3.
|
DO
|
mg/l
|
5,9-6,11
|
4.
|
pH
|
-
|
8,2-8,9
|
5.
|
Amonia
|
ppm
|
<>
|
6
|
Kecerahan
|
m
|
>10
|
Sumber:
Loka Budidaya Laut-Lombok, NTB. 2005
Faktor kualitas
air bukan merupakan suatu kendala jika daerah tersebut merupakan daerah
budidaya ikan kerapu. Lain halnya pada lokasi yang baru, perlu dilakukan suatu
pendekatan dengan cara pengukuran parameter kualitas air serta tindakan uji
coba yang bersifat sederhana jika tidak memiliki alat pengukur kualitas air
yaitu dengan cara memelihara beberapa ekor kerang abalon pada daerah tersebut,
minimal sekitar 2-4 minggu (sekitar 1 bulan), dan parameter yang diamati adalah
dapat bertahan hidup dan mampu memakan pakan yang diberikan. Ini yang akan
dijadikan sebagai tolak ukur bahwa lokasi tersebut telah mampu mendukung budidaya
kerang abalon.
Gambar 34.
Sistem KJA (Karamba Jaring Apung)
c.
KJT
(Keramba Jaring Tancap)
Persyaratan lokasi untuk budidaya
kerang abalon dengan metode pen-culture adalah sebagai berikut:
1.
Daerah
pantai dengan curah hujan rendah
Lokasi
sebaiknya mempunyai curah hujan rendah sepanjang tahun, hal ini untuk
menghindari fluktuasi parameter air laut terutama salinitas yang mencolok. Pada
daerah curah hujan tinggi akan berdanpak sangat buruk pada saat air surut,
yaitu air hujan akan tergenang pada lokasi pen-culture, akibatnya salinitas
akan turun secara drastis. Apabila hal ini berlangsung cukup lama akan
menimbulkan stress dan membahayakan kehidupan kerang abalon dan berujung pada
kematian.
2.
Daerah
pantai yang jauh/tidak ada muara sungai
Hal ini bertujuan untuk menghindari abrasi air tawar yang
dapat mengakibatkan perubahan kualitas air, terutama salinitas serta partikel
dan limbah yang terbawa oleh arus sungai. Keadaan sperti ini memberikan danpak
yang buruk terhadap kehidupan kerang abalon.Oleh karena itu, daerah ini
sebaiknya tidak dijadikan lokasi buddiaya kerang abalon.
3.
Keadaan
pantai yang landai/datar (tidak curam/terjal)
Kedaan pantai yang landai/datar akan memudahkan dalam
membangun konstruksi pen-culture, demikian sebaliknya, pada daerah pantai yang
terjal akan mengakibatkan sulitnya menempatkan konstruksi/wadah budidaya.
4.
Dasar
pantai pasir berkarang dan terdapat alga laut yang tumbuh (ex: padang lamun)
Pemilihan
lokasi yang seperti ini untuk mendekatkan keadaan wadah budidaya dalam bentuk
habitat asli kerang abalon.Selain itu, pada daerah berpasir suspensi atau
partikel lumpur dalam badan air sangat sedikit sehingga kejernihan air tetap
terjamin. Adanya alga yang tumbuh pada daerah tersebut akan menjadi tolak ukur
untuk kesinambungan ketersediaan pakan serta kelangsungan hidup pakan yang akan
diberikan seperti Gracilaria sp. Sebaliknya, pada daerah berlumpur akan
terus terjadi kekeruhan akibat partikel tanah yang terbawa dalam badan air yang
dapat menimbulkan endapan/sedimen yang pada akhirnya membahayakan kehidupan
kerang abalon yaitu kerang abalon dapat tertimbun dalam endapan tersebut
sehingga menyulitkan untuk memperoleh oksigen yang akhirnya tingkat mortalitas
menjadi tinggi.
5.
Ketinggian
air saat surut terendah.
Pada saat surut terendah, sebaiknya lokasi tetap pada daerah
yang tergenang air, jika lokasi terletak pada daerah pantai yang kering, maka
bagian dalam pen-culture harus digali dengan kedalaman minimal 10-15cm dengan
tujuan untuk mempertahankan genangan air saat surut terendah. Hal ini bertujuan
untuk menghindari perubahan suhu yang sangat mencolok dan menghindari
kekeringan pada kerang abalon yang dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan
kematian.
6.
Mudah
dijangkau dan diawasi.
Lokasi harus mudah dijangkau (dekat dengan tempat tinggal),
bertujuan untuk memudahkan pengawasan setiap saat, terutama kerusakan
konstruksi atau hal lain yang dapat menimbulkan kerugian dan membahayakan
kehidupan kerang abalon, seperti; adanya predator. Selain itu, dekatnya lokasi
juga merupakan tindakan pengamanan yang tepat.
7.
Gelombang/ombak
pantai yang tidak terlalu besar
Daerah pantai yang dijadikan lokasi harus terlindung dari
hempasan ombak yang cukup besar, bertujuan untuk menghindari kerusakan pada
wadah/konstruksi pen-culture. Hal lain, lokasi yang memiliki ombak besar maka
usia ekonomis sarana akan menjadi pendek serta akan menambah biaya dalam
konstruksi yang harus dibuat kokoh serta perbaikan, tentunya hal ini akan
memperkecil margin keuntungan dan bahkan dapat mengakibatkan kerugian.
d.
IMTA
(Integrated Multi Tropical Aquaculture)
Implementasi perikanan yang
berkelanjutan dan ramah lingkungan dapat dilaksanakan, sekaligus menjawab
tantangan pemenuhan akan kebutuhan hasil perikanan yang meningkat. IMTA
(Integrated Multi Trophic Aquaculture) untuk mengoptimalkan hasil perikanan
melalui pemanfaatan sistem budidaya dengan pendekatan alamiah ekosistem laut
sehinggamengopimalkan reduksi limbah, efesiensi pakan dan diversifikasi produk.
IMTA adalah salah satu bentuk dari budidaya laut dengan memanfaatkan penyediaan
pelayanan ekosistem oleh organisme trofik rendah (seperti kerang dan rumput
laut) yang disesuaikan sebagai mitigasi terhadap limbah dari organisme tingkat
trofik tinggi (seperti ikan) (White, 2007 dalam Jianguanget al, 2009).IMTA
diterapkan sebagai solusi terhadap mitigasi limbah yang dikeluarkan dalam
marikultur dan peningkatan efesiensi dari pakan sehingga tidak mencemari
lingkungan.
Demikian
halnya di Indonesia, IMTA sebagai metode budidaya baru telah mulai dikembangkan
meskipun masih secara parsial. Mengingat potensi budidaya yang dimiliki
Indonesia dengan perairan laut dangkal sebesar 24,5 juta hektar yang dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya laut yakni 8,36 juta hektar, lahan
pesisir sekitar 1,22 juta hektar, luas perairan umum kolam dan sawah yang dapat
digunakan untuk perikanan budidaya masing-masing 139,336 hektar, 541,100 hektar
dan 1,538,379 hektar (Hahuri, 2008 dan Nurdjana,
2006 dalam Teguh, 2011). Potensi
pengembangan IMTA ini
dapat diterapkan melalui sistem
Keramba Jaring Apung (KJA)
ataupun Keramba Jaring Tancap
(KJT) yang telah banyak
diterapkan di Indonesia. Sistem ini
dapat dimodifikasi dengan melakukan pendayagunaan berbagai organisme dalam suatu ekosistem,
ekosistem yang digunakan merupakan
ekosistem alamiah ataupun
habitat asli dari
organisme tersebut.
Penerapan IMTA di Indonesia
yangdilaksanakan pada daerah budidaya laut yang memanfaatkan KJA dan KJT
sebagai wadah budidaya bagi organisme kultur.Organisme kultur berasalEkosistem
lokal yang terdapat dalam suatu daerah dapat dilaksankan sebagai penyusun dalam
sistem IMTA, karena ekosistem lokal memilki adaptasi yang lebih baik
dibandingkan dengan organisme introduksi dari luar. Ekosistem lokal perlu
dijaga guna menjaga keseimbangan alam, introduksi dari luar akan memberikan
pengaruh buruk terhadap kerusakan ekosistem seperti penyebaran penyakit dan
pada dasarnya organisme dalam ekosistem laut Indonesia memiliki kemampuan
beradaptasi yang baik pada daerahnya.
Penerapan IMTA pada gagasan ini
dilaksanakan pada perairan karang ataupun Teluk yang memiliki arus yang
relative tenang.Organisme yang berasal dari ekosistem lokal yang dimanfaatkan
adalah ikan kerapu, kakap dan baronang, karena ketiga ikan ini memiliki nilai
ekonomis yang tinggai serta pembenihan dari ikan karang ini telah diketahui
sehingga pasokan benih sebagai unsur budidaya telah terpenuhi. Organime dalam
ekosistem lokal yang bertindak sebagai detritifor adalah bulu babi, teripang
dan abalon yang mampu memanfaatkan sisa pakan dan feses pada budidaya KJA dan
KJT, karena secara alami ketiga jenis organisme tersebut terdapat di Indonesia
terutama abalonyang telah berhasil dibudidayakan di Balai Budidaya Laut,Lombok.
Kerang hijaudan kerang darah telah mampu dibudidayakan secara baik hampir
diseluruh perairan di Indonesia sehingga dalam pemanfaatanya tidak megalami
kesulitan terutama terkait pembenihan,kemampuan kerang sebagai filter feeder
dapat memanfaatkan partikel tersuspensi.Tumbuhan laut seperti rumput laut yang
mudah dibudidayakan di Indonesia seperti Euchemasp dan Gracilariaspmemiliki
nilai ekonomis yang tinggi dan dapat berguna sebagai penyerap inorganik atau
limbah dalam bentuk larutan dalam sistem budidaya sehingga dapat
termanfaatkan.Sistem IMTA yang diterapkan di Indonesia dapat terlihat pada
gambar dibawah.
Gambar 35. Aplikasi Sistem IMTA di
Indonesia melalui Ekosistem Lokal
V. SIMPULAN
-
Kegiatan budidaya abalon dapat menjadi
solusi terbaik untuk mengatasi eksploitasi abalon di alam, mengingat permintaan
pasar dunia yang terus melonjak.
-
Pembenihan merupakan tahap penting dalam
kegiatan budidaya dan benih yang dihasilkan dapat di restockingke perairan untuk mendukung keberlanjutan populasi abalon
di alam.
-
Kegiatan budidaya abalon dapat dilakukan
di kolam/bak (hatchery), KJA dan KJT dengan tetap memperhatikan aspek-aspek
lingkungan (suistainable aquaculture).
DAFTAR PUSTAKA
ACIAR. 2009. Final Report: Abalon
industry enhancement in eastern indonesia.
Kemitraan Australia Indonesia.
Agus, M. 1992.
Pengaruh substrat terhadap Laju Pertumbuhan Lola Trochus niloticus di Perairan Labuangan Kecamatan Mallusetahi
Kabupaten Barru. Tesis Fakultas Peternakan Jurusan Perikanan Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Astutie, A.P., Sudarno., Kusdarwati, R. 2012.Induksi Kematangan Gonad Induk Jantan Kerang
Abalon (Haliotis asinina)
dengan Metode Laserpunktur.Fakultas Perikanan dan Kelautan
Universitas Airlangga. Surabaya. Jurnal
Ilmiah Perikanan dan Kelautan vol. 4.1.
Buschmann, H., A., Hernández-González,
M., Astudillo, C., Lucía Fuente, L., Alfonso Gutierrez, A., Aroca, G.,
2005. Seaweed cultivation, product
development and integrated aquaculture studies in Chile. World
Aquaculture 36: 51-53Bose, A.N. Ghosh, S.N., Yang, C.T., dan Mitra, A. 1993.,
Coastal Aquaculture Engineering. London. Auckland.
Caunihan,
R.T., D.C. Mc Namara., D.C. Souter., E.J. Jebreen., N.P. Preston., C.R.
Johnson., and B.M. Degnan. 2001. Pattern, synchrony and predictablity of
spawning of the tropical abalons (Haliotis asinina) from Heron Reff.
Australia. Marine Ecology Progress Series.213 : 193–202.
Chow, F.,
Macchiavello, J., Cruz, S. S., Fonk, E., Olivares, J. 2001. Utilization of Gracilaria chilensis
(Rhodophyta: Gracilariaceae) as a biofilter in the Depuration of effluents from
tank cultures of fish, oysters, and sea urchins. Worls Aquaculture Society 32: 215-220.
Effendy, I.J.
2000. Study on Early
Developmental Stages of Donkey Ear Abalon (Haliotis
asinina). Linneaus 1758. Institute of Aquakulture College of Fisheries
University of the Philippines in the Visayas.
Miag-ao, Illoilo. Philippine.
Effendy, I.J,
2007. Pengembangan teknologi pembenihan danbudidaya abalon (Haliotis asinina)
di Indonesia.Dalam : Prosiding Seminar Nasional Muluska dalam
penelitian, konservasi dan ekonomi. BRKP DKP RI bekerja sama dengan Jur. Ilmu
Kelautan, FPIK Undip, Semarang : 2007 :22-26.
Esquivel, Z. G.,
S. M. Magallón, and M. A. González-Gómez. 2007. Effect of temperature
and photoperiod on the growth, feed consumption, and biochemical content of
juvenile green abalon, Haliotis fulgens, fed on a balanced diet.
Aquaculture 262 : 129–141.
Fallu, R. 1991. Abalon Farming. Fishing News Book.
England. Fallu, R. 1991. Abalon farming.
Fishing News Book. Oxford.
Feisal, F. 2005.
Embriogenesis dan perkembangan larva abalon mata tujuh (Haliotis asinina Lin.
1758). [skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Feisal, F., Tampubolon,
P. 2010. Morfologi dan Tingkah Laku
Reproduksi Abalon Mata Tujuh (Haliotis
asinina Lin. 1758).Jurnal Moluska Indonesia.vol.1:
27-33.
Fishblogs. 2009.
Budi daya kerang Abalon. Www. abalon/budi daya-abalon.html Laut-Lombok, Ntb. file:///I:/abalon/satriokelautan.wordpress.htm
Grubert M.
A., 2005. Factors influencing the reproductive
development and early life history of blacklip (Haliotis rubra) and greenlip abalon (H. laevigata).Thesis.University of Tasmania, Launceston, Australia.
Hamzah, M.S.dan Sangkala, 2009.Studi pertumbuhan dan
kelangsungan hidup anakan siput abalon tropis (Haliotis asinina) pada
kondisi suhu dan salinitas yang berbeda.Dalam : Prosiding Seminar
Nasional Perikanan 2009, Teknologi Budidaya Perikanan. Pusat Penelitian dan
pengabdian Masyarakat, Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta Tgl 03-04 Desember 2009
:476-481.
Hamzah, M.S.,
Dwiono, S.A.P. dan Safriyadi, H. 2012.Pertumbuhan dan kelangsungan hidup anak
siput abalon tropis (Haliotis asinina) dalam bak beton pada kepadatan berbeda.Dalam
: Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 2, Ikatan Sarjana
Oseanografi Indonesia dan Dep. Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor :191-197.
Hamzah, M,S.,
Sigit, A., Safriyadi, H,. 2012. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Anak Siput
Abalon Tropis Haliotis asinine Dalam
Bak Beton Pada Kepadatan Berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis.vol.IV.no.2. Lombok.
Hamzah, M.S,.2013. Studi Pertumbuhan Dan Daya Komsumsi Pakan Alami Anakan Siput Abalon
Tropis (Haliotis asinina) pada Kondisi Suhu Berbeda.
Hanniffy, D.,
dan Kraan, S., 2007. BIOPURALG: reducing the environmental impact
of land based aquaculture through cultivation of seaweeds. Irish Seaweed Centre, MRI National
University of Ireland.Galway.
Huchette,.2009. France Haliotis:Leading
the way to suistainable abalon farming. Galway.
Hayashi, L.,
Yokoya, S., N., Ostini, S., Pereira, R., Braga, S., E., Oliveira, E.,
2008. Nutrients removed by Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta,
Solieriaceae) in integrated cultivation with fishes in re-circulating water.
Aquaculture 227: 185-191.
Kuncoro, A.,
A.Sudaryono., A.Sujangka., H.Setyabudi., Suminto. 2013. Pengaruh Pemberian Pakan Buatan dengan Sumber Protein yang Berbeda
Terhadap Efisiensi Pakan, Laju Pertumbuhan, dan Kelulushidupan Benih Abalon
Hybrid.Journal of Aquaculture Management and Technology.Vol(2)3: 56-63
Leighton, P. 2008. Abalon Hatchery Manual. Aquaculture
Explained. No.25
Leighton,
D. L., 2008. Abalon Hatchery Manual. Aquaculture Technical Section, Aquaculture
Development Division. Co. Dublin, Ireland.
Litaay, M dan De
Silva, S.S. 2002.Spawning Season, Fecundity and Proximate Composition of The
Gonads of Wild-Caught Blacklip Abalon (Haliotis rubra) from Port Fairy
Waters South Eastern Australia.Aquat.Living Resour. 16 (2003) 353–361.
Litaay, M.,
Agus, M., Verawati,St dan Rusmidin, 2012. Variasi genetik abalon tropis Haliotis
asinina, L. Asal Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan pada ICAL 2012,
Semarang, 23-24 Nopember 2012 : 10 hal.
Nurfajrie., Suminto., Sri, R,. 2014. Pemanfaatan
Berbagai Jenis Makroalga Untuk Pertumbuhan Abalon (Haliotis squamata) dalam Budidaya Pembesaran. Journal ofAquaculture Management and Technology Vol.
3, No. 4, Tahun 2014,142-150.
Neori, A., Chopin, T., Troell, M.,
Buschmann, H., A., Kraemer, P., G., Halling, C., Shpigel, M., Yarish, C., 2004. Integrated aquaculture: Rationale, evolution
and state of the art emphasizing seaweed biofiltration in modern
mariculture. Aquakultur 231, 361-391.
Oktarina, S. 2006. Pengaruh perbedaan
fotoperiode terhadap pertumbuhan abalon (Haliotis asinina Linnaeus,
1758). [skripsi]. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Diponegoro: Semarang.
Parker, F. M,
Davidson. K, Freeman. S, Hair. S, Daume. 2007. Investigstion Of Optimal
Temperature and Light Conditions for Three Bentik Diatom and Their Suitability
To Commercial Scale Nursery Culture Of abalon (Haliotis Laevigata). Journal Of
Shellfish Research. Vol 26 (3):751-7 61.
Rusdi.I.MP.,
Hanafi.A. M.Sc., Marzuki.M., 2010. Peningkatan Sintasan Benih Abalon (Haliotis squamata) di Hatchery Melalui
Optimalisasi Pakan dan Lingkungan. Laporan Akhir. 43 hal.
Saleh. M., dan Suwoyo.D., 2008. Rangsang Kejut Suhu Sistim Basah dalam Proses Pemijahan Massal AbalonHaliotis
sp.Perekayasa Muda BBPBAP Jepara.17 hal
Setyono, D.E.D. 2004a. Abalon (Haliotis asinina) : 2 Factors Effect Gonad Maturation.
Oseana. Vol. XXIX, Nomor 4.
Setyono, D.E.D. 2004b. Broodstock Conditioning of The Tropical Abalon (Haliotis asinina) in The Laboratory.Oseana. 36: 1–13.
Setyono, D.E.D. 2010.Pembakuan Sistem
Reproduksi Benih Abalon Tropis Di Upt Loka Pengembangan Bio Industri Laut
Mataram.Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Suminto.,
Dyah Anggun, P.S., Susilowati. 2010. Presentase Perbedaan Pengaruh Tingkat
Kematangan Gonad Terhadap Fertilitas dan Daya Tetas Telur Dalam Pembenahan
Buatan Abalon (Haliotis asinine). Program Studi Budidaya Perairan
Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro.
Semarang. vol. 6. 2010. 79 – 87.
Sofyan, Y, Bagja, I. 2006. Pembenihan Abalon (Haliotis
asinina). Lombok: Balai Budidaya Laut (BBL) Lombok, Departemen Kelautan dan
Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Tang, U.M.,
2002. ManajemenPembenihan Ikan. UNRI
Press. Pekanbaru.Tisna, K.
2008.Teknik Budidaya Abalon (Haliotis asinina). Juknis Abalon BBL Lombok. Pacitan-Jawa Timur.Tisna, K. 2008.Teknik Budi daya Abalon (Haliotis asinina). Juknis Abalon BBL Lombok. Pacitan-Jawa Timur.
Tisna, K. 2008. Cara
Mengkultur Benthic Diatom Dari Skala Lab Sampai SkalaMassal Untuk Suplai Pakan
Larva Abalon. Pacitan, Jawa Timur.http://kekerangan.blogspot.com/2008/07/cara-mengkultur
benthiciatom dari.html.
Diakses pada tanggal 26 Juni 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar