Selasa, 11 Oktober 2016

Dalam Kenanganku

-Pada sebuah perjalanan, kita memang menatap ke depan, dengan sesekali menengok ke belakang. Begitulah cinta. Mungkin kita bisa ikhlas, tapi hati tetap saja sulit melepas. Maka biarkanlah cinta berjalan sampai hari mengetuk pagi, dan kita mencaricari alasan untuk mengerti, kenapa hari kemarin kita harus ikhlas menjadikannya lepas tak berbekas-

-Aku merindukanmu pada jarakjarak yang tak mudah ditebak, meski harus tersentak pada waktu yang tak berdetak. Semoga kau tak beranjak dari namaku. Aku mencintaimu di antara jarakjarak yang terselip jejak kita dahulu, walau terhentak tempat yang tak terungkap. Semoga kau masih sediakan rumah untukku di hatimu-

-Kenanglah, Bahwa kau pernah bersamaku, pada detik yang kita sebut kemarin, pada rentang yang kita namai masa lalu. Jika akhirnya kini, entah sejak dulu ataukah sebelum kau bersamaku, aku tak memainkan detak lagi, kenanglah-

-Aku tidak berpikir untuk memilih, ketika masa lalu mengirimkan dirimu untuk seluruh waktu, sampai akhirnya kau bungkus waktu dengan bisu. Bersamamu jalani dunia menuju surga, menjadikan luka semacam gula, ataulah, melepaskanmu demi luka tak semakin menganga. Haruskah itu menjadi pilihanku?-

-Kita tertawa pada saat itu. Aku tersenyum sempit dan matamu menyipit bersama paruh parkit yang malumalu mengintip di balik ranting. Sengaja kita tidak berucap dengan banyak bait. Ini perpisahan, tak semestinya kita bermainmain dengan rasa pahit. Kecuali selamat tinggal, tak ada lagi yang bisa kuabadikan dari banyak pertemuan kita.-

-Seumpama langit, kau itu semacam langit yang sedikit sedikit berganti warna, begitu sempit waktuku mengerti dirimu. Dari banyak yang tak terduga, kaulah mungkin makna terujung dari ketidakpastian. Ketika langit memberi awan tanpa hujan, penantian menjadi harapan tak bertuan. Pun langit berikan hujan tanpa awan, tibatiba saja semua serba prahara, duka dan bahagia terbungkus harapan yang pupus.
Haruskah aku jadi malam, hanya merindu tanpa ada yang dituju. Ataukah menjadi siang, berlamalama menyiapkan kenangan tanpa harapan. Maka biarlah aku menyimpan sedikit air matamu yang pernah membasah di bajuku. Meski melupakanmu adalah kebebasan. Aku ingin menempatkannya sebagai kebebasan tersempit. Mengingatmu mungkin aku sakit, tapi melupakanmu semacam menjepit aorta di jantungku-

-Kau dan aku mungkin juga hanyalah pertemuan tak sengaja saat memilih pulang. Biarkan semua berjalan tanpa penghalang. Kita berjalan saling menunjuk alamat pulang. Semoga kelak di antara kita, datang menggandeng untuk sebuah rute baru dalam bertualang.
Ke mana pun aku beranjak, di mana pun kamu berpijak, juga bagaimanapun kita berjejak, pulang adalah memeluk ingatan-

-Ketika hujan adalah kenangan, maka langit yang mendung adalah bendungan rindu, siap mengaliri pematang perasaan yang limbung setelah sekian lama diterangi harapan.
Langit yang mendung adalah tanda, bahwa sebelum kenangan tiba, kau dan aku adalah satu cerita yang tak selesai. Dan ketika kita tak saling melerai di tengahtengah cerita, langit yang mendung adalah koma, sebuah jeda tempat menafsirkan bahagia, sebelum akhirnya titik menjadi rintik hujan, dan kita pun pasrah terjebak dalam kenangan.
Langit yang mendung, rindu yang dikandung, pada akhirnya hanya melahirkan kenangan. Begitulah kita yang setia mengingat langit, saat kita berdua duduk bersandar pada rumput di atas bukit. Mungkin nanti kau dan aku akan sendiri, tanpa ada kita, hanya ada kesepian yang masih tetap setia menatap langit-

kumpulan bait by Ijonk Muhammad
"syuukaa syekalii"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar